Sejauh ini dalam studi keilmuan Islam klasik, sebagai suatu metode dalam memahami kitab suci Al-Qur’an, ilmu tafsir termasuk dalam lingkup ilmu keislaman yang bersifat single tradition; tidak dihubungkan secara langsung dengan ilmu-ilmu sosial. Kitab-kitab `Ulûm al-Qur’ân yang selama ini menjadi standar dalam ilmu tafsir, secara umum bicara dalam konteks problem teks. Belum memasuki ranah problem konteks sosial di mana penafsir berada.[1] Lalu, pada era sekarang muncul pemikir-pemikir baru yang merumuskan metodologi baru dalam pembacaan teks kitab suci. Sekadar menyebut contoh, Riffat Hassan membangun hermeneutik Al-Qur’an feminis dengan menyusun tiga prinsip interpretasi: (1) linguistic accuracy, yaitu melihat terma dengan merujuk pada semua leksikon klasik untuk memperoleh apa yang dimaksud dengan kata itu dalam kebudayaan di mana ia dipergunakan, (2) criterion of philosophical consistency, yaitu melihat penggunaan kata-kata dalam Al-Qur’an itu secara filosofis konsisten dan tidak saling bertentangan, dan (3) ethical criterion, yakni bahwa praktik etis sesungguhnya harus terefleksikan dalam Al-Qur’an.[2]
Amin al-Khuli (w. 1966 M.) ketika berhadapan dengan teks Al-Qur’an, membangun wilayah hermeneutik teks dari unthinkable menjadi thinkable. Ia memperlakukan teks Al-Qur’an sebagai kitab sastra Arab terbesar (Kitâb al-`Arabiyyah al-akbar), sehingga analisis linguistik-filologis teks merupakan upaya niscaya untuk menangkap pesan moral Al-Qur’an. Dalam usahanya ini, al-Khuli sama sekali tidak bermaksud menyejajarkan status Al-Qur’an dengan teks sastra kemanusiaan, tetapi ia bermaksud menemukan angan-angan sosial kebudayaan Al-Qur’an dan hidayah yang terkandung dalam komposisinya sebagaimana telah ditangkap oleh Nabi Muhammad SAW.[3] Pandangan al-Khuli ini yang kemudian dikembangkan oleh Nashr Hamid Abu Zayd. Dia berpandangan bahwa studi Al-Qur’an haruslah dikaitkan dengan studi sastra dan studi kritis. Studi tentang Al-Qur’an sebagai sebuah teks linguistik meniscayakan penggunaan studi linguistik dan sastra. Untuk melakukan proyek ini dia mengadopsi teori-teori mutakhir dalam bidang linguistik, semiotik dan hermeneutika dalam kajiannya tentang Al-Qur’an.[4]
Hassan Hanafî (lahir 1935 M.) mengintrodusir sebuah hermeneutik Al-Qur’an yang spesifik, temporal, dan realistik. Menurutnya, hermeneutik Al-Qur’an haruslah dibangun atas pengalaman hidup di mana penafsir hidup dan dimulai dengan kajian atas problem manusia. Interpretasi haruslah dimulai dari realitas dan problem-problem manusia, lalu kembali kepada Al-Qur’an untuk mendapatkan sebuah jawaban teoretis. Dan jawaban teoretis ini haruslah diaplikasikan dalam praksis. Teori Hanafî ini didasarkan pada konsep asbâb al-nuzûl yang memberikan makna bahwa realitas selalu mendahului wahyu.[5] Dalam hermeneutik Al-Qur’an semacam ini, ilmu-ilmu sosial kemanusiaan serta unsur triadik (teks, penafsir dan audiens sasaran teks) menjadi demikian signifikan. Suatu proses penafsiran tidak lagi hanya berpusat pada teks, tetapi juga penafsir di satu sisi dan audiens di sisi lain.
Dalam konteks problem sosial kemanusiaan, model pembacaan kitab suci yang ditawarkan oleh Hassan Hanafi di atas sungguh menarik. Sebab sejauh ini, pembacaan kitab suci dalam sejarahnya yang amat panjang, tampak masih terasing dari realitas dan problem-problem sosial kemanusiaan. Pada sisi lain, teks kitab suci menjadi pusat dan sekaligus pemegang otoritas. Yang berkuasa di dalam menentukan suatu paradigma adalah teks, ukuran untuk menyelesaikan problem-problem kehidupan masyarakat adalah teks. Problem sosial, politik, ekonomi dan kemanusiaan, selalu dikembalikan (sebagai bentuk penyelesaian) kepada teks kitab suci. Kerangka berpikirnya tentu bersifat deduktif yang berpangkal pada teks dan realitas harus sesuai dan tunduk kepada teks. Maka, tafsir sebagai metode pembacaan kitab suci dengan demikian masuk di dalam lingkaran “peradaban teks”. Ia sangat lekat, meminjam pemetakan Mohamed Abied Al-Jabiri, dengan al-`aql al-bayânî atau yang oleh Mohamed Arkoun dimasukkan ke dalam al-`aql al-lâhûtî—sama halnya dengan Kalam, Fikih, Falsafah dan tasawuf, dalam mainstream tradisi keilmuan Islam tradisional.[6]
Dalam lingkaran peradaban teks tersebut, sejarah perkembangan tafsir dalam konteks nalar formatifnya, secara umum setidaknya berkisar pada dua pendulum besar.[7] Pertama, nalar teosentris. Yaitu penafsiran kitab suci yang dominan memusatkan diri pada tema-tema ketuhanan. Tuhan harus disucikan, diagungkan dan tentu dibela. Maka, ketika bicara mengenai masalah keadilan, maka keadilan yang dimaksud adalah keadilan Tuhan. Ketika bicara soal kasih sayang, maka konteksnya selalu ditarik dalam pengertian kasih sayang Tuhan. Ketika bicara soal kekuasaan dan kebebasan, maka yang muncul adalah kekuasaan dan kebebasan Tuhan. Begitulah seterusnya. Dalam konteks nalar tafsir yang demikian, Tuhan telah diletakkan sebagai subyek yang tampak dirundung banyak masalah, sehingga harus dibela dan diperjuangkan dalam kehidupan umat manusia. Para mufasir dengan segala kemampuannya tampil untuk membela-Nya. Itulah akhirnya, tafsir menjadi bersifat sangat teosentris.
Membesarkan, mensucikan dan mengagungkan Tuhan memang suatu kesadaran yang logis di dalam syariat agama. Namun, bila kemudian sikap ini menyingkirkan kajian atas problem-problem kemanusiaan, maka wacana tafsir hanya dikembangkan dalam mainstream pembelaan dan pengagungan Tuhan. Al-Qur’an dan penafsirannya, akhirnya hanya dipersembahkan untuk Tuhan. Padahal, seperti kita tahu, Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi kehidupan umat manusia di dunia ini, bukan untuk Tuhan. Al-Qur’an merupakan inspirasi gerakan pembebasan dalam struktur masyarakat yang menindas, rasis dan ahumanis, bukan sebatas praktik-praktik ritual sebagai bentuk pengagungan Tuhan.
Tafsir era klasik sangat didominasi dengan model tafsir teosentris ini. Polemik di kalangan para teolog Muslim—seputar masalah sifat dan perbuatan Tuhan: apakah manusia bisa melihat-Nya secara langsung kelak di surga, apakah Tuhan mempunyai tangan seperti manusia, Kalam Allah makhluk atau tidak, dan seterusnya—telah mewarnai dengan kental wacana tafsir pada masa itu. Para teolog memperdepatkan masalah-masalah di seputar eksistensi Tuhan. Muktazilah yang sering dianggap sebagai aliran rasionalisme di dalam Islam, pada kenyataannya rasionalisme mereka itu hanya untuk membela keagungan dan kesucian Tuhan, bukan membela problem-problem sosial kemanusiaan yang dihadapi umat Islam pada saat itu. Secara praksis, tafsir saat itu telah mengabaikan persoalan-persoalan sosial kemanusiaan serta menjadi kehilangan spirit pembebasan dalam mengurai problem sosial kemanusiaan tersebut.
Yang kedua, nalar tafsir ideologis. Yakni pembacaan atas kitab suci yang telah berorientasi pada problem-problem manusia, tetapi masih bersifat abstrak dan intelektualis, tidak substansial dan tidak mengacu secara langsung pada problem kemanusiaan yang dihadapi umat. Tafsir ideologis ini berkutat pada pengukuhan atas paham, aliran dan madzhab tertentu, baik itu dalam konteks fikih, teologi maupun tasawuf. Tafsir ideologis ini tidak hanya bersifat teosentris, tetapi yang tampak dominan adalah membela aliran dan madzhab tertentu yang berkembang di dalam sejarah umat Islam. Nalar tafsir ini secara tendensius membela aliran dan keyakinan tertentu yang hidup di dalam masyarakat Islam. Maka, muncullah aliran tafsir Sunni, tafsir Syi`ah, tafsir Muktazilah, begitu juga dalam konteks hukum, muncul tafsir yang membela madzhab-madzhab fikih.[8]
Misalnya, kalangan Syi’ah memaknai surah Al-Rahmân: 19-22, marajalbahraini yaltaqiyân, bainahumâ barzakhullâyabghiyân, fabiayyiâlâirabbikumâ tukadzdzibân, yakhruju minhumal lu`lulu wal marjân—Dia memberikan dua lautan mengalir, yang keduanya kemudian bertemu antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui. Dari keduanya keluar mutiara dan marjan”, dua lautan dimaknai dengan Ali dan Fatimah; barzakh (batas) adalah Muhammad; mutiara dan marjan adalah Hasan dan Husain.[9] Al-Qusyairi menakwilkan ayat yang sama sebagai berikut: Allah menjadikan dua lautan hati, yaitu lautan khauf dan lautan rajâ’. Mutiara dan marjan adalah kondisi psikologis dan rahasia-rahasia spiritual kaum sufi.[10]
Nalar tafsir ideologis maupun teosentris telah terjadi sangat lama dalam sejarah umat Islam, dan melapuk di dalam sistem kesadaran mereka. Dalam rentang waktu yang lama tersebut, tafsir ideologis telah memunculkan pertarungan ideologi dan pertarungan madzhab, baik di dalam bidang teologi, fikih, filsafat maupun tasawuf. Mereka saling rebut ayat kitab suci lalu ditafsirkannya secara ideologis, untuk mengukuhkan paham-paham mereka. Akhirnya, yang muncul adalah apa yang disebut Nashr Hâmid Abû Zayd sebagai qirâ’ah al-mughridhah atau tafsir ideologis (talwîn).[11] Orang membaca Al-Qur’an secara tendensius, diletakkan dalam kerangka ideologi yang telah dibangunnya terlebih dahulu, tanpa mempunyai pijakan epistemologis yang kuat terhadap gagasan pokok kitab suci. Sehingga, yang tampak seakan-akan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang pro aliran Qadariah dan pada sisi lain ada ayat-ayat yang pro aliran Jabariah.[12] Fakta ini di dalam sejarah bukan hanya akan menampilkan Al-Qur’an dalam kerangka yang ambigu, tetapi bahkan yang lebih telak, menjadikan Al-Qur’an kehilangan elan vital-nya di dalam mengurai dan mencari penyelesaian atas problem-problem kehidupan dan sosial umat manusia.
Meski kedua nalar tafsir tersebut telah berlangsung lama dalam sejarah umat Islam, tetapi tidak memberikan sumbangan penting terhadap proses humanisasi di tengah problem riil masyarakat Muslim, karena keduanya tidak mempunyai konsern dan tidak terkait langsung dengan proses formasi sosial. Peran yang diambilnya, bila kita merujuk pada tradisi fikih yang selama ini telah terbentuk, sebatas pada masalah kontrak sosial antarindividu, belum masuk ke ranah bangunan sistem sosial, politik dan kekuasaan yang membentuk formasi sosial. [1] Ini bisa dilihat dari berbagai kitab `Ulûm al-Qur’ân yang selama ini menjadi standar, misalnya Mannâ’ al-Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî `Ulûm al-Qur’ân (t.tp.: Mansyûrât al-`Ashr al-Hadîts, 1973); Muhammad `Ali al-Shâbûnî, al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Âlam al-Kutub, t.th.).
[2] Riffat Hassan, “Women’s Interpretation of Islam”, dalam Hans Thijsen (ed.), Women and Islam in Muslim Society (The Hague: Ministry of Foreign Affairs, 1994), h. 116.
[3] Selengkapnya lihat, J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt (Leiden: E.J.Brill, 1974). Edisi Indonesia, Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997).
[4] Tentang Abu Zayd dalam konteks studi Al-Qur’an baca kajian Moch Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd (Jakarta: Teraju, 2003). Buku ini berasal dari tesis penulisnya yang ditulis dalam program S2 di Universitas Leiden Nederland dalam bahasa Inggris yang kemudian diindonesiakan oleh penulisnya sendiri.
[5] Hassan Hanafî, Dirasât Islâmiyyah (Kairo: Maktabat al-Anjilu al-Mishriyyah, 1981), hlm. 69.
[6] Mohamed Arkoun, al-Fikr al-Ushûlî wa Istihâlah al-Ta’shîl (Beirut: Dar al-Saqi, 2002), h. 308.
[7] Masdar F. Mas’udi, “Rekonstruksi Al-Qur’an di Indonesia”, Makalah yang dipresentasikan pada acara Semiloka FKMTHI di gedung PUSDIKLAT Muslimat NU, Pondok Cabe, Jakarta Selatan, 2003, h. 4. Pemetaan tipologi nalar ini berbeda dengan yang selama ini terjadi dalam aliran-aliran tafsir yang dirumuskan berdasarkan ruang lingkup keilmuan. Misalnya, ada tafsir fiqhi, tafsir sufi, tafsir falsafi, tafsir lughawi, tafsir al-`aqdi, tafsir al-bathini, tafsir bi al-matsur, dan tafsir bi al-ra’yi. Lihat, Muhammad `Ali al-Shâbûnî, al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Âlam al-Kutub, t.th.); `Ali al-Ausi, al-Thabâthabâ’i wa Manhajuhu fî Tafsîrih (Teheran: Mu`âwanah al-Riâsah lil`Alâqah al-Daulah fî Mundzimah al-Â`lam al-Islâmî, 1985).
[8] lihat, Fahd ibn `Abdurrahmân ibn Sulaimân al-Rûm, Ittijâhât al-Tafsîr fî Qarn al-Râbi` `Asyr (Riyad: Maktabah Rusyd, 2002), jilid I. Buku ini mengkaji tafsir-tafsir yang lahir pada abad 14 hijriah. Dari studi ini terlihat bahwa nalar tafsir-tafsir tersebut masih terkungkung di dalam konteks aliran fikih dan teologi. Perdebatan yang kuat masih memperjuangkan kesucian, keadilan dan keagungan Tuhan.
[9] Muhammad `Âbid Al-Jâbirî, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabî: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nuzhûm al-Ma`rifah fi al-Tsaqâfah al-‘Arabiyyah (Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabî, 1993), h. 306.
[11] Nashr Hâmid Abû Zayd, Naqd al-Khithâb al-Dînî (Kairo: Sina li al-Nashr, 1994), h. 926.
[12]Kajian tentang teologi di dalam Islam, terutama teologi di era klasik, teologi Muktazilah, Asy’ariah, Qadariah dan Jabariah, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kajian tentang problem penafsiran atas kitab suci yang mereka lakukan. Hal ini penting disadari karena pertentangan antaraliran di dalam sejarah Islam selalu mengaitkan diri pada dasar pijak yang sama, yaitu teks Al-Qur’an. Ini berarti ada nalar penafsiran dan pilihan ayat yang berbeda sehingga melahirkan paham-paham yang beragam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar