Selasa, 24 Mei 2011

BUDIDAYA JAGUNG MANIS DI SENTRA SAPI PERAH

Sentra peternakan sapi perah di Indonesia terkonsentrasi di Pangalengan (Jabar), Boyolali (Jateng) dan Pujon (Jatim). Di Pangalengan misalnya, terdapat populasi sekitar 17.000 ekor sapi. Kalau dalam sehari rata-rata satu ekor sapi memerlukan hijauan sebanyak 40 kg.  maka sentra peternakan tersebut memerlukan 680 ton hijauan per hari. Produktivitas lahan yang ditanami hijauan, rata-rata 20 ton per 70 hari. Hingga tiap harinya harus ada 34 hektar lahan hijauan yang siap untuk dipanen. Dengan sistem rotasi yang baik, dengan adanya pengairan teratur, maka tiap dua bulan lebih 10 hari, penanaman akan kembali ke lahan semula. Hingga untuk mencukupi 17.000 ekor sapi perah tersebut, sebenarnya diperlukan lahan penanaman hijauan (monokultur) seluas 34 (hektar) X 70 (hari) = 2.380 hektar. Padahal di kawaan pangalengan, lahan-lahan rakyat lebih banyak dimanfaatkan untuk menanam kentang. Sebab Pangalengan juga merupakan salah satu sentra kentang di Indonesia. Di luar lahan petani, Pangalengan dikelilingi oleh lahan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan lahan PT Perhutani (Persero). Lahan PTPN berupa perkebunan teh, sementara lahan Perhutani adalah hutan lindung atau tegakan pinus. Hingga upaya untuk menyediakan 2.380 hektar lahan untuk meningkatkan produktivitas susu di Pangalengan merupakan sebuah impian. Sebagai gambaran, lahan Perkebunan Teh Malabar hanya sekitar 3.000 hektar.
Salah satu alternatif memenuhi kebutuhan hijauan pakan ternak adalah dengan menggabungkan agribisnis jagung manis (sweet corn) dengan peternakan sapi perah. Jagung manis adalah varietas jagung yang hanya akan dipanen muda, yakni pada umur sekitar 70 hari di lahan dataran tinggi. Di dataran menengah dan rendah, umur panennya bisa lebih singkat, yakni sekitar 65 bahkan hanya 60 hari. Karena dipanen pada umur muda, maka tebon (batang berikut daun) jagung tersebut masih sangat hijau dan segar, hingga nilai gizinya masih tinggi bagi ternak ruminansia, khususnya sapi perah. Beda dengan budidaya jagung hibrida untuk pakan ternak yang akan dipanen tua, yakni pada umur 100 hari. Pada waktu itu tebon jagung sudah mengeras bahkan mengering hingga nutrisinya terlalu rendah sebagai pakan ternak. Di sentra penanaman jagung hibrida, biasanya daun-daun jagung ini akan mulai diambil pada saat jagung berumur sekitar 80 hari. Nanti pada umur sekitar 90 hari, seluruh daun akan dihabisi hingga yang tinggal hanyalah batang bagian bawah sampai sebatas tongkol. Tongkol ini akan dibiarkan mengering di areal penanaman sampai saat panen. Pada jagung manis, pemanenan dilakukan berikut tongkolnya, hingga yang tersisa adalah batang serta daun jagung yang masih hijau. Di sentra-sentra penanaman jagung manis yang masyarakatnya banyak memelihara sapi serta domba, harga tebon jagung manis ini sekitar Rp 50,- per kg. Kalau dalam tiap hektar lahan jagung manis bisa dipanen   sekitar 20 ton tebon, maka petani masih akan memperoleh tambahan pendapatan Rp 1.000.000,- per hekrat per musim tanam.
Modal kerja penanaman jagung manis sekitar Rp 5.000.000,- per hektar per musim tanam. Modal tersebut akan digunakan untuk mengolah lahan, membeli benih, memupuk dan merawat tanaman serta memanen. Benih yang diperlukan sekitar 6 kg. untuk tiap hektar lahan. Pupuk organik yang diperlukan sebanyak 5 ton. Baik berupa pupuk kandang maupun kompos. Pupuk kimianya berupa urea, SP, KCL serta NPK. Total aplikasinya sekitar 1 ton dengan variasi jenis pupuk sesuai dengan kondisi lahan. Selain itu masih diperlukan pula pestisida dan pengapuran lahan apabila lahan tersebut ber pH di bawah 7. Kebutuhan pupuk kandang di senra-sentra penanaman jagung manis selama ini cukup tinggi. Sementara ketersediaannya sangat rendah. Karenanya pupuk kotoran sapi dan domba selalu menjadi rebutan. Alternatif yang ditempuh petani adalah dengan memanfaatkan pupuk kotoran ayam. Baik ayam pedaging (bercampur sekam) atau ayam petelur (murni kotoran). Namun kandungan bahan organik dari pupuk ayam, tidak sebaik pada pupuk kotoran sapi atau domba. Di lain pihak, kototan sapi perah biasanya hanya terbuang sia-sia. Tiap pagi, apabila akan dilakukan pemerahan, maka kandang yang berlantaikan semen itu akan diguyur air. Kotoran sapi akan langsung hanyat menuju perairan umum. Padahal nilai kotoran sapi tersebut sebagai pupuk kandang masih tinggi. Penggelontoran ke sungai juga akan mencemari lingkungan. Penggabungan pertanian jagung manis dengan peternakan sapi perah dapat mengatasi dua kendala sekaligus. Jagung manis tidak perlu kekurangan pupuk organik, sementara pencemaran limbah peternakan juga tertanggulangi.
Fungsi pupuk organik, dalam hal ini pupuk kandang, dalam budidaya jagung manis sangat besar. Pertama, pupuk organik akan memperbaiki struktur tanah hingga daya serap akar terhadap nutrisi dalam bentuk unsur hara makro (N, P, K) akan semakin besar. Selama ini hampir semua lahan pertanian di Jawa, baik lahan sawah maupun ladang, sudah sangat kekurangan unsur organik. Penyebabnya adalah tingginya erosi, serta aplikasi pupuk kimia yang sangat berlebihan. Hingga pemberian pupuk urena, Sp mapun Kalium serta pupuk majemuk NPK dalam dosis tepat pun, tidak akan terserap secara optimal oleh akar tanaman. Kedua, fungsi pupuk kandang bagi jagung manis adalah untuk memperkuat pertumbuhan akar.  Hingga pada saat tanaman pas berat-beratnya (umur 40 sd. 60 hari) apabila terjadi angin kencang, tanaman tidak akan roboh. Sebenarnya aplikasi pupuk kandang untuk lahan pertanian yang sudah terlanjur rusak untuk tanaman jagung manis, harus lebih dari 5 ton. Sebab dosis 5 ton per hektar per musim tanam adalah untuk kondisi normal. Dalam keadaan lahan sudah rusak berat. dosis yang dianjurkan adalah 20 ton. Kemudian berangsur-angsur diturunkan sampai ke kondisi normal yakni 5 ton per hektar per musim tanam. Dengan demikian, kebutuhan pupuk kandang untuk areal pertanian jagung manis seluas 100 hektar saja, sudah mencapai 2.000 ton per musim tanam.
Pupuk kandang yang dimaksudkan adalah kotoran ternak yang sudah terfermentasi dengan baik. Kotoran sapi perah segar yang baru saja disiram dari kandang, masih harus diperam dulu hingga siap untuk menyuburkan lahan pertanian. Kalau kotoran sapi yang baru saja diambil dari kandang itu langsung diaplikasikan ke lahan, tanaman akan mati. Sebab N dalam kotoran ternak tersebut masih sangat tinggi hingga akan melayukan tanaman. Selain itu, kotoran tersebut dalam proses fermentasinya akan mengeluarkan gas methan dan amonia yang juga bisa meracuni akar tanaman. Panas dari proses fermentasi itu pun juga  akan menimbulkan panas yang langsung berdampak ke rusaknya parakaran. Karenanya, kotoran sapi perah yang disiram dari kandang idealnya ditampung terlebih dahulu dalam sebuah bak penampungan. Apabila bak tersebut dibuat tertutup, maka gas methan (biogas) yang dihasilkannya masih bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Namun dubanding dengan nilai investasinya, nilai ekonomis dari gas tersebut relatif tidak sebanding. Hingga bak penampungan tersebut bisa dibangun secara terbuka. Untuk mempercepat proses fermentasi serta guna menghindarkan polusi bau, maka ke dalam bak penampungan tersebut perlu ditambahkan biang bakteri. Misalnya EM4 atau merk lain. Tanpa bantuan bakteri, proses pemasakan pupuk akan berlangsung selama lebih dari sebulan dengan polusi bau yang luarbiasa. Dengan bantuan bakteri, proses tersebut bisa dipersingkat menjadi paling lama 1 minggu dan tanpa adanya polusi bau.
Limbah peternakan sapi perah sangat spesifik. Beda dengan limbah kotoran sapi pedaging atau domba. Sebab kandang sapi perah rata-rata berlantai semen dan cara pembersihannya dilakukan harian dengan cara menyiram. Karenanya. limbah peternakan sapi perah berupa kotoran yang larut dalam air. Dalam larutan bahan pupuk tersebut, terkandung pula urine sapi yang kadan Nnya sangat tinggi. Karenanya pemeraman kotoran sapi perah harus dengan menyertakan airnya. Beda dengan fermentasi kotoran sapi pedaging atau domba yang bisa dilakukan hanya dengan kotoran padatnya. Sebab urine sapi pedaging serta domba, masih tersimpan dalam jerami atau rumput kering yang biasanya dijadilan alas kandang. Karena pemeraman limbang sapi perah dengan menyertakan airnya, maka pemanfaatannya untuk tanaman pun idealnya juga dengan menyertakan airnya. Cara paling prkatis yang bisa dilakukan adalah dengan menyedot limbah cair tersebut dari bak penapungan menggunakan mobil tangki. Selanjutnya kotoran yang telah terfermentasi dengan baik itu langsung disiramkan ke lahan yang akan ditanami jagung manis. Karena dosis normal 5 ton per hektar dan untuk lahan kritis 20 ton tersebut adalah pupuk padat, maka pada penggunaan pupuk organik cair ini dosisnya dilipatkan. Kalau diperkirakan bagian padatnya hanya 25 %, maka dosis tersebut dikalikan empat dari dosis normal. Kalau bahan padatnya sekitar 50 % maka cukup dikalikan dua. Pemberian pupuk ini sebaiknya dilakukan pada saat lahan belum dibajak. Selanjutnya, pemberian pupuk pada saat areal sudah ditanami, dilakukan dengan   menampung pupuk dalam drum-drum yang ditaruh di pinggir jalan di dekat areal jagung manis. Selanjutnya penyiraman ke masing-masing individu tanaman dilakukan sebara manual. Pada pemupukan tahap kedua ini, bisa sekaligus dicampurkan (dilarutkan NPK) dengan dosis 1 atau 2 kuintal per hektar.
Saat panen jagung manis, tebon segar juga bisa langsung dipanen. Idealnya tebon segar ini dicacah menggunakan chooper hingga diperoleh partikel yang siap dicampur konsentrat untuk dikonsumsi sapi. Dalam keadaan tebon berlimpah, hasil cacahan ini bisa dibuat silase dan sekaligus disimpan dalam silo. Baik silo permanen dari bahan bata/batako, maupun silo berupa kantung plastik besar yang ditanam dalam tanah. Pemanfaatan kotoran sapi perah secara optimal, dapat meningkatkan hasil jagung manis dari 8 ton per hektar menjadi 12 sd. 14 ton per hektar. Sementara pemanfaatan tebon segar, bisa meningkatkan produktivitas susu dari 10 sd. 12 liter per hari menjadi 14 sd. 16 liter.  Dengan harga jagung manis rata-rata Rp 1.000,- per kg. tongkol segar, maka peningkatan pendapatan petani antara Rp 4.000.000,- sd. Rp 6.000.000,- per hektar per musim tanam. Sementara peningkatan pendapatan peternak, dengan harga susu segar Rp 1.500,- adalah Rp 6.000,- per ekor sapi per hari.  Hingga penerapan pola agribisnis jagung manis di sentra peternakan sapi perah, akan menguntungkan pihak petani maupun peternak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar