Minggu, 27 Februari 2011

NERACA PEMBAYARAN


Resesi ekonomi dunia yang terjadi pada tahun 2001 dan pemulihannya secara bertahap sejak tahun 2002 berpengaruh terhadap neraca pembayaran. Dalam tahun 2001, penerimaan ekspor non-migas turun menjadi US$ 44,8 miliar atau 11,0 persen lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sejalan dengan memulihnya perekonomian dunia, permintaan terhadap komoditi ekspor mulai meningkat. Dalam tahun 2002 dan 2003, penerimaan ekspor non-migas meningkat berturut-turut menjadi US$ 46,3 miliar dan US$ 48,0 miliar atau masing-masing naik sebesar 3,4 persen dan 3,7 persen.

Dalam keseluruhan tahun 2001 – 2003, nilai ekspor nonmigas turun dengan rata-rata 1,3 persen per tahun, di bawah sasaran yang ingin dicapai yaitu rata-rata sebesar 11,2 persen per tahun.  Rendahnya penerimaan ekspor nonmigas dalam beberapa tahun terakhir selain disebabkan oleh persaingan internasional yang cukup ketat, juga disebabkan oleh beberapa faktor internal antara lain masalah perburuhan, penyelundupan, dan infrastruktur yang kurang mendukung peningkatan investasi pada industri yang berorientasi ekspor.
Berbagai upaya telah ditempuh untuk mendorong kinerja ekspor nonmigas, meskipun belum memberikan hasil yang diharapkan. Dalam tahun 2001 ditempuh kebijakan antara lain berupa penurunan tarif pajak ekspor beberapa komoditas tertentu dan penyempurnaan sistem manajemen kuota tekstil. Dalam tahun 2002 dibentuk Tim Koordinasi Peningkatan Kelancaran Arus Barang Ekspor dan Impor untuk merumuskan langkah kebijakan yang terpadu dan terkoordinasi guna menunjang dan meningkatkan kelancaran arus barang serta daya saing ekspor Indonesia. Selanjutnya dalam tahun 2003 ditempuh upaya promosi ekspor dan penetrasi pasar terutama ke negara-negara nontradisional, pembebasan bea masuk komponen tertentu untuk meningkatkan investasi dan menurunkan biaya produksi, serta penyederhanaan perijinan di bidang investasi dengan menyediakan pelayanan satu atap.

Sementara itu nilai ekspor migas dalam kurun waktu 2001 – 2003 tumbuh rata-rata  sebesar 1,2 persen. Dalam lima bulan pertama tahun 2004 rata-rata harga ekspor minyak mentah Indonesia mencapai US$ 33,3/ barel. Tingginya harga minyak di pasar internasional antara lain disebabkan oleh meningkatnya permintaan dunia, isu terorisme, dan isu kurangnya pasokan minyak dunia. Peningkatan harga minyak dunia tersebut telah memberi dampak peningkatan defisit neraca perdagangan minyak, karena saat ini nilai ekspor minyak Indonesia lebih rendah dari nilai impornya. Namun, jika digabungkan dengan neraca perdagangan gas, neraca perdagangan migas masih surplus.

Dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi, impor nonmigas dalam tahun 2001 turun sebesar 15,8 persen; kemudian meningkat berturut-turut sebesar 0,1 persen pada tahun 2002 dan 9,4 persen pada tahun 2003. Sementara itu, impor migas dalam tahun 2001 turun sebesar 5,0 persen. Dengan harga minyak yang tinggi dan peningkatan kebutuhan bahan bakar dalam negeri, impor migas dalam tahun 2002 dan 2003 meningkat berturut-turut sebesar 17,5 persen dan 17,4 persen.

Di sisi jasa-jasa, pengeluaran yang cukup besar terjadi untuk jasa pengangkutan barang impor dan pembayaran bunga pinjaman luar negeri. Sedangkan penerimaan masih tetap mengandalkan sektor pariwisata dan pendapatan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. Tragedi WTC September 2001, tragedi Bali Oktober 2002, isu SARS pada awal tahun 2003, perang Irak, dan tragedi J.W. Marriott Agustus 2003 telah memberi pengaruh negatif bagi dunia pariwisata nasional selama dua tahun terakhir. Dalam tahun 2002 dan 2003, arus wisatawan asing turun berturut-turut 2,3 persen dan 11,2 persen. Dengan meredanya kegiatan terorisme internasional, ditingkatkannya keamanan di dalam negeri, serta langkah-langkah untuk memulihkan iklim pariwisata khususnya di Bali, sejak triwulan IV/2003, arus wisatawan asing secara bertahap mulai pulih. Dengan perkembangan tersebut, defisit sektor jasa-jasa sebesar US$ 15,8 miliar pada tahun 2001, relatif tetap sebesar US$ 15,7 miliar dalam tahun 2002, dan meningkat menjadi US$ 16,5 miliar dalam tahun 2003.

Defisit pendapatan bersih (net income) terus menunjukkan kecenderungan menurun. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh berkurangnya transfer keuntungan dari perusahaan-perusahaan PMA ke luar negeri. Kondisi ini mengindikasikan bahwa investor asing yang ada masih berminat untuk terus melanjutkan usahanya di dalam negeri dengan tetap menanamkan keuntungan usahanya di Indonesia.

Sementara itu, transfer berjalan bersih (net current transfer) cenderung meningkat terutama karena lebih besarnya penerimaan dana dari TKI yang bekerja di luar negeri dibandingkan dengan pengiriman dana yang berasal dari TKA yang bekerja di Indonesia. Naiknya penerimaan worker remittances juga menunjukkan semakin banyaknya TKI yang berangkat ke luar negeri, sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengatasi tingginya pengangguran di dalam negeri yang meningkat pesat sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997.

Secara keseluruhan, neraca transaksi berjalan tahun 2001 – 2003 mengalami surplus, berturut-turut sebesar US$ 6,9 miliar, US$ 7,8 miliar, dan US$ 7,3 miliar.

Di sisi neraca modal, beberapa upaya pokok ditempuh untuk mengurangi tekanan terhadap neraca modal. Dalam tahun 2002 ditempuh upaya penjadwalan kembali pinjaman luar negeri (PLN) pemerintah melalui Paris Club II, Paris Club III, dan London Club. Dalam Paris Club III, penjadwalan tidak hanya mencakup pokok pinjaman, tetapi juga bunga pinjaman. Selanjutnya sebagai implikasi comparable treatment dari kesepakatan Paris Club III, pemerintah melakukan negosiasi dalam forum London Club sehingga penjadwalan kembali Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN) mencakup pokok pinjaman dan bunga pinjaman sindikasi. Melalui upaya tersebut meningkatnya kewajiban pembayaran pinjaman luar negeri pemerintah yang jatuh tempo serta pinjaman IMF tidak memberi tekanan yang berat bagi neraca modal pemerintah. Defisit arus modal pemerintah bersih dalam tahun 2001 – 2003 meningkat dari US$ 2,2 miliar menjadi US$ 3,5 miliar. Hal ini sejalan dengan meningkatnya pembayaran kembali pinjaman pemerintah dan pinjaman dari IMF.

Sejalan dengan meningkatnya arus masuk modal swasta dan menurunnya pembayaran utang luar negeri, defisit arus modal swasta neto turun dari US$ 8,3 miliar dalam tahun 2001 menjadi US$ 0,1 miliar dalam tahun 2003. Sementara itu, pembayaran utang luar negeri sektor swasta korporat meningkat cukup tajam seiring dengan semakin membaiknya kemampuan sektor swasta dalam memenuhi kewajiban luar negerinya.

Dengan perkembangan pada neraca transaksi berjalan dan neraca modal tersebut, jumlah cadangan devisa selama 2001 - 2003 meningkat dari US$ 28,0 miliar menjadi US$ 36,3 miliar dalam tahun 2003, atau cukup untuk membiayai 7,1 bulan impor dan utang luar negeri pemerintah. Pada akhir bulan Juni 2004, jumlah cadangan devisa menurun menjadi US$ 34,9 miliar karena meningkatnya kebutuhan pembayaran utang luar negeri dan tekanan eksternal berkaitan dengan perubahan kebijakan moneter AS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar