Mengapa muncul kecendrungan fatwa yang otoriter? Inilah tren yang sangat mengkhawatirkan sekaligus menyedihkan. Otoritarianisme dalam diskursus hukum Islam kontemporer tersebut bisa berwujud fatwa, pandangan, peraturan atau hukum yang mengatasnamakan syariat Islam; tapi hakikatnya berasal dari “fikih otoriter”. Tulisan di bawah ini berikhtiar melakukan pembongkaran-pembongkaran terhadap otoritarianisme dalam hukum Islam dengan menggunakan pandangan-pandangan Khaled Abou el Fadl sebagai model. Fokusnya adalah perlu memberi batasan yang tegas antara “yang otoritatif” dan “yang otoriter”; antara “kewewenangan” yang berbeda dari “kesewenang-wenangan”. Selamat membaca.
MEMBONGKAR OTORITARIANISME HUKUM ISLAM
Membaca Pemikiran Khaled Abou el Fadl
Authoritarianism is the act of “locking” or captivating the Will of Divine or the will of the tex into the spesific determination, and then presenting this determination as inevitable, final, and conclusive
Islamic law has staunchly resisted codification or uniformity… Tradisional Islamic methodology has been its open-ended and anti-authoritarian character.
–Khaled Abou El Fadl
Mohamad Guntur Romli
Tidak ada doktrin Islam yang mendapat perhatian serius dari dulu hingga saat ini selain fikih. Sampai-sampai seorang pemikir muslim dari Maroko Muhammad Abîd Al-Jâbirî berkomentar, “jika kita boleh menamakan peradaban Islam dengan salah satu produknya, maka, kita harus mengatakan peradaban Islam adalah peradaban fikih.” Pengakuan itu bukan sekadar isapan jempol belaka, karena berdasar pada kuantitas dan kualitas perhatian umat Islam terhadap fikih. Dari segi kuantitas karya fikih mendominasi kekayaan khazanah intelektual Islam. Sedangkan dari segi kualitas, fikih mampu menaklukkan umat Islam di hadapan otoritasnya. Tidak satu pun gerak-gerik umat Islam bisa lepas dari jeratan hukum fikih.
Namun di sisi lain, sikap umat Islam yang sangat berlebihan terhadap fikih tersebut ikut andil melahirkan aspek-aspek negatif. Umat Islam terlalu silau dengan berjibunnya karya-karya ulama fikih klasik sehingga sebagian orang menganggap kewajiban kita ‘cuma’ menerapkannya saja. Fikih menjelma anak yang dimanja tidak boleh disentuh, apalagi dikritik. Akibatnya, fikih yang awal-mulanya adalah ikhtiar pemahaman manusia yang dinamis terhadap problem-problem kemanusian melalui perspektif syariat Tuhan—menjelma menjadi pemahaman manusia yang otoriter. Tidak bisa dibedakan antara Kehendak Tuhan yang ideal dengan pemahaman manusia yang terbatas. Sikap demikian bukan hanya mambunuh kreatifitas, tapi juga semakin mengukuhkan fikih sebagai doktrin Islam yang otoriter dan membendung kemajuan umat Islam.
Khaled Abu El Fadl dalam Diskursus Pembaruan Hukum Islam
Beranjak dari kegalauan di atas, dalam beberapa dekade terakhir ini muncul gerakan untuk melakukan “pembaruan fikih” (tajdîd al-fiqh) ataupun hingga gagasan “fikih baru” (fiqh jadîd). Wacana pembaruan dalam hukum Islam ini paling tidak bisa dikategorikan menjadi dua macam.
Pertama, pembaruan yang berangkat dari akar metodologis dan epistimologis. Pembaruan model ini lebih menitikberatkan pada rekonstruksi ilmu ushul fikih sebagai pijakan dasar ilmu fikih. Beberapa karya penting ulama kontemporer yang patut menjadi rujukan adalah, Tajdîd al-Fiqh al-Islâmî karya Dr. Jamâluddîn Athiyah dan Dr. Wahbah Zuhaylî, al-Tajdîd fî Ushûl al-Fiqh karya Dr Hasan al-Turâbî, al-Fiqh al-Islâmî fî Tharîq al-Tajdîd karya Dr Muhammad Salîm al-’Awwâ’, Nahw Fiqh Jadîd karya Jamâl; al-Bannâ dan lain-lain. Ada juga beberapa buku yang secara khusus mengkaji tema maqâshid al-syarî’ah seperti Nadzariyah al-Maqâshid ‘Indza al-Imâm al-Syâthibî karya Dr. Ahmad al-Raysûnî, al-Maqâshid al-’Âmmah li al-Syarî’ah al-Islâmiyah karya Dr Yusuf Hamid al-Âlim, Nahw Taf’îl Maqâshid al-Syarî’ah karya Dr Jamâluddin ‘Athiyah, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyah wa Makârimuhâ karya ‘Allâl al-Fâsî, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyah karya Syekh Thâhir bin ‘Âsyûr dan lain-lain.
Kedua, adalah pembaruan yang mengupas tema-tema fikih dan tinjau-ulang terhadap hukum fikih. Karya yang mengupas pembaruan model kedua ini sangat banyak dan melebihi usaha pertama. Biasanya pemilihan tema fikih didasarkan pada alasan kebutuhan yang darurat dan mendesak. Seperti pembahasan seputar masalah-masalah ekonomi, politik dan sosial yang dikaitakan dengan pembahasan fikih. Ataupun masalah-masalah ibadah ritual; seperti gagasan penyatuan antara zakat/pajak dan peninjauan ulang waktu haji oleh Masdar F Mas’udi, fatwa-fatwa kontemporer milik Dr. Yusuf al-Qaradlawi, tema Jihad oleh Dr Ramadlan al-Bûthî, dan lain-lain. Untuk sekedar mengingatkan, di Indonesia sendiri telah terbit sekumpulan pembaruan fikih tematis yang menyulut kontroversi di mana-mana. Buku itu berjudul Fikih Lintas Agama yang mengulas hukum-hukum relasi muslim dan non-muslim. Misalnya hukum nikah beda agama, mengucapkan salam, saling mendoakan, dan lain-lain.
Di tengah deretan karya pembaruan fikih di atas, karya seorang cendikiawan muslim Khaled Abou El Fadl patut mendapat sambutan hangat; dikaji dan dikritik. Di mana posisi karya-karya Khaled dalam diskursus pembaruan fikih di atas? Menurut hemat saya, Khaled menempati kedua sekaligus. Khaled telah melakukan pembaruan dalam ranah metodologis, sekaligus tematis.
Dalam karya-karyanya Khaled mengundang kita untuk melakukan pembaruan-pembaruan terhadap hal-hal mendasar dalam masalah metode/epistemologi penetapan dan penggalian hukum (manhaj/tharîqah itsbâth wa intinbâth al-ahkâm) seperti meninjau kembali pemahaman terhadap sumber-sumber primer hukum Islam yaitu al-Quran, Sunnah dan varian mekanisme ijtihad (qiyâs (analogi), ijmâ’ (konsensus), mashâlih al-mursalah, dll). Pada selanjutnya, metode tersebut, digunakan oleh Khaled sebagai pisau analisis untuk membedah beberapa tema aktual saat ini; galibnya tema-tema yang sangat pelik, terutama yang berkaitan dengan persoalan jender (relasi laki-laki dan perempuan).
Sebagai akademisi yang sangat akrab dengan hukum Islam, Khaled juga mengakui bahwa hukum Islam adalah jantung dan inti dari agama Islam (Islamic jurisprudence is the heart and kernel of the Islamic religion). Dia juga mengutip Joseph Schacht, bahwa hukum Islam adalah puncak prestasi peradaban Islam. Tapi fikih di hadapan Khaled, alih-alih memanjakannya, dia malah tidak percaya bahwa khazanah intelektual itu mampu bertahan dari serbuan trauma kolonialisme dan modernitas. Bahkan, lanjutnya, sisa-sisa khazanah fikih klasik tersebut berada di ambang kepunahan.
Tapi yang paling menyedihkan dan mengkhawatirkan bagi Khaled adalah, maraknya otoritarianisme dalam diskursus hukum Islam kontemporer. Merebaknya fatwa, pandangan, dan hukum yang mengatasnamakan syariat Islam; tapi sebenarnya berasal dari “fikih otoriter”. Maka dari itu Khaled mengajak kita melakukan pembongkaran-pembongkaran terhadap otoritarianisme dalam hukum Islam. Sebagai langkah awal, perlu memberi batasan yang tegas antara “yang otoritatif” dan “yang otoriter”; antara “kewewenangan” yang berbeda dari “kesewenang-wenangan” dalam diskursus hukum Islam” (the authoritative and the authoritarian in Islamic discourse).
Yang Otoritatif dan Yang Otoriter
Dalam salah satu hasil besutannya Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women, Khaled menyajikan sebuah kerangka konseptual untuk membangun gagasan tentang otoritas dan otoritarian dalam Islam. Pembahasan otoritas sangat penting karena tanpa otoritas maka kita akan beragama secara subjektif, relatif dan individual. Untuk itu perlu ada hal-hal yang baku (al-tsawâbit) dalam agama.
Khaled Abou El Fadl membangun konsep otoritas dalam Islam dengan doktrin Kedaulatan Tuhan dan Kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan dijelaskan melalui Kalam-Nya yang telah tertulis. Demikian juga Nabi—sebagai pemegang otoritas kedua setelah Tuhan—setelah wafat meninggalkan tradisinya (Sunnah) yang telah terkodifikasi. Pada konteks ini telah terjadi proses pengalihan ‘suara’ Tuhan dan Nabi pada teks-teks yang tertulis dalam al-Quran (mushaf) dan kitab-kitab sunnah. Di hadapan kita adalah sekumpulan teks-teks yang dipandang mewakili ‘suara’ Tuhan dan Nabi. Sejauh mana teks-teks tersebut memiliki otoritas mewakili ‘suara’ Tuhan dan Nabi? Bagaimana kita memahami kehendak Tuhan dan Nabi melalui perantara teks-teks tersebut. Apakah aturan-aturan wakil Tuhan agar bisa menyampaikan kehendak Tuhan tanpa menganggap pendapatnya sebagai kehendak Tuhan?
Merespon pertanyaan-pertanyaan mendasar di atas, menurut Khaled kita harus memerhatikan tiga hal berikut. Pertama berkaitan dengan “kompetensi” (autentisitas). Kedua, berkaitan dengan “penetapan makna”. Ketiga berkaitan dengan “perwakilan”. (h. 25-26). Tiga pokok persoalan menjadi tiga kunci bagi Khaled untuk memisahkan diskursus yang otoritatif dan yang otoriter dalam Islam.
Persoalan pertama mengenai kompetensi (autentisitas) adalah bagaimana kita mengetahui bahwa perintah tersebut benar-benar datang dari Tuhan dan Nabi-Nya. Teks-teks yang memiliki kompetensi (autentisitas) dinilai sebagai teks-teks yang otoritatif, sedangkan teks-teks yang tidak memiliki kompetensi tidak memiliki otoritas mewakili ‘suara’ Tuhan dan Nabi. Penggunaan teks-teks yang tidak otoritatif akan menjerumuskan manusia pada otoritarianisme; penganugrahan otoritas pada yang tidak otoritatif.
Dalam konteks kompetensi al-Quran, Khaled menggunakan asumsi-berbasis-iman bahwa al-Quran adalah firman-Tuhan yang abadi dan terpelihara kemurniannya. Kompetensi al-Quran tidak bisa diganggu-gugat. Tampaknya Khaled tidak ingin berspekulasi membuka perdebatan tentang kesejarahan, kemurnian, dan keaslian al-Quran, karena yang relevan baginya adalah bagaimana “menentukan maknanya” (to determine its meaning) (h. 87).
Maka dari itu, persoalan kompetensi (autentisitas) hanya berlaku pada Sunnah tidak pada al-Quran. Kompetensi Sunnah perlu dipertanyakan agar benar-benar otoritatif bisa mewakili ’suara’ Nabi. Khaled sendiri dalam membahas kompetensi Sunnah menggunakan metodologi kritik hadis klasik (mushthalah al-hadits) dari kritik trasmisi (naqd al-sanad) dan kritik perawi (’ilm al-rijâl).
Namun yang perlu diperluas menurut Khaled adalah kajian hadis harus menyentuh realitas sejarah. Dalam pandangan Khaled menilai perawi dalam rantai periwayatan; bisa dipercaya atau tidak dipercaya, memang cukup membantu, tapi tidak meyakinkan. Maka dari itu Khaled ingin mengembangkan kajian hadis pada kritik redaksi hadis (naqd al-matan) yang memungkinkan seseorang mengkaji konteks sosio-historis hadis. Dan yang lebih penting lagi adalah, persoalan sesungguhnya bukan Nabi telah mengatakan atau tidak mengatakan sesuatu, tapi peran apa yang dimainkan Nabi dalam sebuah riwayat tertentu (the issue is not wether the Prophet said or did not say something but what the role did the Prophet play in a particular report) (h. 88).
Pemahaman peran sosok Nabi itu akan melahirkan perbedaan fungsi pada Sunnah; jika Nabi melakukan sebagai sosok manusia biasa, maka, Sunnah itu tidak memiliki otoritas sebagai sumber hukum (al-sunnah ghayr tasyrî’iyyah) namun sebaliknya jika Nabi memerankan sebagai utusan Tuhan yang harus diikuti, maka Sunnah itu memiliki otoritas untuk diikuti (al-sunnah al-tasyrî’iyyah). Selain itu Khaled juga menegaskan perlu membedakan kriteria Hadis Ahad dengan Hadis Mutawatir karena keduanya memiliki perbedaan kadar ororitas dalam proses legislasi. Hadis Mutawatir memiliki kadar kompetensi (autentisitas) lebih kuat.
Seorang pemikir liberal Mesir Gamal al-Banna memberikan komentar lebih jauh ketika menjelaskan persoalan al-tsubût (autentisitas/orisinilitas) dengan al-hujjiyah (kompetensi) ketika membahas Sunnah. Persoalan al-tsubût berkenaan dengan orisinilitas transmisi Sunnah. Menurut Gamal, dalam masalah ini, Sunnah memiliki problem serius. Penulisan sunnah dilarang waktu Nabi, dan Sunnah baru dikodifikasi pada paruh abad kedua Hijriah tepatnya pada era Khalifah Umar bin Abd Aziz. Oleh karena itu, Gamal sangat berhati-hati dalam menggunakan Sunnah. Menurutnya hadis palsu lebih banyak dari hadis yang asli (shahîh). Sedangkan hadis ahad lebih banyak daripada hadis yang mutawatir. Ketika berbicara mengenai hujjiyah (kompetensi) Sunnah, hadis-hadis tersebut harus disesuaikan dengan standarisasi Al-Quran; sebagai satu-satunya sumber hukum Islam yang tetap dan akurat. Hadis-hadis yang melawan otoritas al-Quran tidak dianggap hadis-hadis otoritatif lagi.
Di sinilah terdapat perbedaan mendasar kajian teks terhadap al-Quran dan Sunnah. Khaled mempertegas dua perbedaan proses tersebut. Yaitu, proses sakralisasi al-Quran dan proses desakralisasi Sunnah—al-Quran secara khusus berasal dari Tuhan sedangkan Sunnah tidak (the sanctification of The Qur’an dan the de-sanctification of the Sunnah—the Qur’an is exclusicely from God but Sunnah is not). (h. 108)
Sedangkan persoalan kedua mengenai penetapan makna, bagaimana kita menetapkan makna dari Kehendak Tuhan itu? Seperti yang telah dimaklumi Tuhan telah menggunakan sarana teks untuk menyampaikan kehendak-Nya, sedangkan teks tidak bisa berbicara sendiri, dia butuh manusia untuk berbicara.
Manusia di hadapan teks adalah ‘lidah’ sebagai artikulatur sekaligus interpreter teks. Memposisikan manusia dalam subjek teks, bukan tanpa masalah, malah sebaliknya. Karena tidak jarang, kita jatuh pada “pembunuhan teks” dan “pelacuran hermeneutika” yang merampas kesucian (autentisitas) teks. Ketika semua berhak bersetubuh dengan teks tanpa kewewenangan, tidak ada yang bisa menjamin teks tersebut ditafsirkan sebebas-bebasnya. Dalam posisi ini, teks akan ditelanjangi dari autentitas, makna dan tujuannya. Dalam pandangan Khaled, sikap tersebut merupakan tindakan sewenang-wenang yang menyuburkan penafsiran otoriter.
Bagaimana menjaga kesucian (autentisitas) teks ini, agar tidak mudah ‘disetubuhi’ dan selaras dengan makna aslinya? Menurut Khaled untuk menjawab persoalan ini kita membutuhkan keseimbangan kekuatan yang harus ada antara maksud teks, pengarang dan pembaca (balance of power between the author, reader and text). Penetapan makna berasal dari proses yang kompleks, interaktif, dinamis dan dialektis antara ketiga unsur di atas (teks, pengarang dan pembaca). Salah satu maksud tiga unsur itu tidak ada yang mendominasi. Penafsiran yang tepat adalah penafsiran yang menghormati peranan, otonomi dan integritas teks.
Menghormati otonomi teks bertujuan menghindari kooptasi dan otoritarianisme pembaca terhadap teks sehingga teks bisa ditafsirkan sebebar-bebasnya. Maka dari itu, Khaled menegaskan gagasan tentang teks yang terbuka (the open text). Al-Quran dan Sunnah—dengan meminjam istilah Umberto Eco, merupakah “karya yang terus berubah” (“works in movement”). Keduanya adalah karya yang membiarkan diri mereka terbuka bagi berbagai strategi interpretasi (they are works that leaves themselves open to multiple interpretative strategies). (h. 146)
Sedangkan sikap otoriter adalah proses pemasungan teks sehingga teks tidak bisa leluasa bergerak dan berinteraksi dengan keragaman makna. Dalam bahasa Khaled, “Authoritarianism is the act of “locking” or captivating the Will of Divine or the will of the tex into the spesific determination, and then presenting this determination as inevitable, final, and conclusive” (Otoritarianisme adalah tindakan “mengunci” atau mengurung Kehendak Tuhan atau kehendak teks, dalam sebuah penetapan tertentu, dan kemudian menyajikan penutupan tersebut sebagai sesuatu yang pasti, absolut dan menentukan. (h. 93)
Otoritarianisme juga ditandai dengan penyatuan pembaca dengan teks. Sehingga penetapan pembaca itu akan menjadi perwujudan eksklusif teks tesebut. Akibatnya teks dan konstruksi pembaca akan menjadi satu dan serupa. Dalam proses ini teks itu akan tunduk kepada pembaca dan secara efektif pembaca menjadi pengganti teks. (h. 142)
Pada posisi ini pembaca hanya akan melahirkan penafsiran yang otoriter. Lebih jauh lagi melahirkan fanatisme yang mengkultuskan pada penafsiran-penafsiran itu sehingga menganggap hasil penafsirannya memiliki kompetensi yang sama dengan teks asal (al-Quran dan Sunnah).
Salah terobosan terpenting yang disajikan oleh Khaled Abu El Fadl untuk melawan otoritarianisme adalah melawan upaya paksa penaklukkan dan penutupan teks oleh pembaca. Baginya, teks tetap bebas, terbuka, dan otonom. Ide yang sama juga pernah disampaikan oleh Farid Esack dengan memahami al-Quran sebagai “pewahyuan progresif”. Tuhan yang Mahahidup terlibat aktif dalam urusan dunia dan umat Islam. Salah satu manifestasinya adalah mengutus nabi-nabi sebagai instrumen pewahyuan progresif-Nya. Karakteristik al-Quran juga bersifat aktif dan progresif seperti proses turunya al-Quran secara bertahap (tadrîjî). Maka dari itu, untuk menghindari sikap otoriter adalah tetap sadar bahwa teks (al-Quran) merupakan “karya yang terus berubah” atau “wahyu yang progresif”. Sehingga segala bentuk penafsiran dan pemahaman akan terus aktif, dinamis dan progresif.
Pertanyaan selanjutnya adalah, ketika teks memiliki otonomi dan makna tersendiri sedangkan pembaca juga membawa subjektifitas yang bisa melahirkan makna lain, bagaimana relasi dialektis dua makna tersebut? Khaled tidak menjelaskan lebih lanjut, dia hanya memberikan kaidah “perimbangan kekuatan” antara pengarang yang diwakili teks dengan pembaca. Untuk itu saya ingin menyajikan pendapat Nashr Hamid Abu-Zayd dalam bukunya Naqd al-Khithâb al-Dînî tentang perbedaan “makna statis” dan “makna progresif”. Nashr Hamid membedakan “arti historis-orisinil” teks yang disebut ma’nâ (pengertian) dan “arti realistas-modern” teks yang disebut maghzâ (signifikansi).
Menurut Nashr Hamid Abu-Zayd, perbedaan makna dan signifikansi terletak pada dua aspek. Pertama, “makna” adalah pemahaman terhadap teks yang berasal dari konteks internal bahasa (al-siyâq al-lughawî al-dhâkhîlî) dan konteks eksternal sosio-kultural ekstern (al-siyâq al-tsaqâfî al-ijtimâ’î al-khârijî). Sedangkan “signifikansi” adalah pemahaman terhadap teks sesuai dengan kondisi kekinian melalui perspektif pembaca. Hubungan antara makna dan signifikansi seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisah. Bahkan, “signifikansi” lahir dari pemahaman kita terhadap makna asal teks-teks tersebut.
Kedua, “makna” bersifat statis-relatif (al-tsâbît al-nisbî), bersifat statis karena ia merupakan makna asli (otonom) teks sehingga terus menyertai teks tersebut, dan relatif karena ia memiliki “keterbatasan” ruang dan waktu. Sedangkan “signifikansi” terus bergerak mengikuti perputaran dan perubahan cakrawala pembaca.
Selain persoalan penetapan makna tersebut, Khaled juga memaparkan persoalan penting lain yaitu persoalan pembuktian yang mendasari pengambilan kesimpulan hukum. Pembuktian itu terkait dengan “asumsi dasar” dalam komunitas interpretasi. Ada empat asumsi dasar yang berfungsi sebagai landasan untuk membangun analisis hukum. Yaitu, asumsi berbasis nilai, asumsi metodologis, asumsi berbasis iman, dan asumsi berbasis akal.
Asumsi berbasis nilai dibangun di atas nilai-nilai normatif yang dipandang penting atau mendasar oleh sebuah sistem hukum. Misalnya nila-nilai dalam perbedaan dharûriyât, hâjiyât, dan tahsinât. Asumsi metodologis terkait dengan sarana atau langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan normatif hukum. Perbedaan antara madzhab hukum dipandang sangat bersifat metodologis. Sedangkan asumsi berbasis akal berdasar pada potongan-potongan bukti yang bersifat kumulatif, sebagai hasil dari proses objektif dalam mempertimbangkan berbagai bukti secara rasional, bukan hasil dari pengalaman etis, eksistensial, atau metafisik yang bersifat pribadi. Sedangkan asumsi berbasis iman bukan berasal dari klaim diperoleh dari perintah Tuhan, tapi dinamika antara manusia (wakil) dan Tuhan. Asumsi berbasis iman dibangun di atas pemahaman-pemahaman pokok atau mendasar tentang karakteristik pesan Tuhan dan tujuannya. (h. 154-157)
Persoalan ketiga berkaitan dengan konsep perwakilan dalam Islam. Seperti diketahui kedaulatan mutlak hanya dimiliki Tuhan, namun di sisi lain, Islam juga mengakui konsep kekhalifahan manusia sebagai perwakilan Tuhan. Namun pelimpahan otoritas Tuhan kepada manusia membuka ruang otoritarianisme; jika manusia itu menyalahgunakan otoritas Tuhan, melakukan tindakan di luar batas kewenangan hukum yang dimilikinya (ultra vires) atau bahkan menuhankan dirinya.
Untuk itu Khaled memberikan beberapa standar sebagai prasyarat kepada mereka yang disebut Khaled sebagai “wakil khusus” Tuhan. Secara umum manusia adalah wakil (khalifah) Tuhan di bumi. Namun keberwenangan Tuhan selalu diwakili dan dinegoisasi oleh manusia. Pada tataran realitas tidak semua manusia memiliki kemampuan untuk bisa memahami Kehendak Tuhan. Sehingga wakil-wakil umum itu menyerahkan keputusannya kepada wakil khusus yang disebut Khaled sebagai ahli hukum.
Ada lima syarat sebagai pelimpahan pelimpahan otoritas antara wakil umum ke wakil khusus. Yaitu, “wakil khusus” itu harus memiliki; pertama, kejujujuran (honesty) wakil khusus bisa dipastikan jujur, dapat dipercaya untuk menjadi wakil dalam memahami perintah Tuhan. Kedua, Kesungguhan (diligence) wakil khusus itu dipastikan telah mengerahkan segenap upaya rasional dalam menemukan dan memahami Kehendak Tuhan. Ketiga kemenyeluruhan (comprehensiveness) wakil khusus itu dipastikan telah melakukan penyelidikan secara menyeluruh untuk memahami Kehendak Tuhan.
Keempat, rasionalitas (reasonableness) wakil khusus dipastikan telah melakukan upaya penafsiran dan menganalisis perintah-perintah Tuhan secara rasional.
Kelima pengendalian diri (self-restraint) wakil khusus harus memiliki kerendahan hati dan pengendalian diri dalam menjelaskan Kehendak Tuhan. Seorang wakil harus memiliki kewaspadaan untuk menghindari penyimpangan atas peran Tuhan, berarti dia harus mengenal batasan peran yang menjadi haknya saja. Seorang wakil khusus jika tidak memiliki syarat di atas maka akan mudah melakukan pemahaman dan tindakan yang otoriter dengan mengatasnamakan Tuhan. (h. 54-56)
Studi Kasus: Otoritarianisme Hukum Islam Ala Wahhâbî
Bagi Khaled fenomena-fenomena otoritarianisme dalam hukum Islam diakibatkan oleh kesalahan-kesalahan prosedural yang berhubungan dengan penjelasan di atas. Baik yang berhubungan dengan teks: kompetensi, penetapan makna dan berhubungan dengan kecerobohan ahli hukum Islam yang melanggar wewenangnya sebagai wakil khusus Tuhan. Dalam masalah ini, Khaled membongkar kecenderungan otoritarian dalam fatwa-fatwa lembaga keagamaan yang berpaham Wahhâbi dan puritan. Seperti SAS (The Society for the Adherence of the Sunnah) di Amerika Serikat CRLO (Central for Scientific Research and Legal Opinions/) sebuah lembaga fatwa resmi di Arab Saudi.
Galibnya fatwa-fatwa mereka merendahkan perempuan. Ada dua alasan yang mendasari Khaled mengambil produk fatwa-fatwa Wahhabi sebagai bahan analisis. Pertama, produk intelektual para ahli hukum dari mazhab tersebut melambangkan bentuk otoritarianisme interpretatif. Kedua, madzhab ini telah menjadi madzhab yang dominan di dunia Islam dewasa ini.
Menurut Khaled seruan mereka untuk kembali kepada Islam yang murni, asli dan tidak berubah, jelas-jelas tidak masuk akal. Pendekatan mereka bersifat ahistoris, terbukti naif dan simplistis—tidak mungkin kita kembali kepada al-Quran dan Sunnah dalam kevakuman. Seharusnya kembali kepada al-Quran dan Sunnah berarti kembali kepada sumber-sumber klasik yang mengomentari konteks dan makna ayat dan menjelaskan kumpulan dan dekomentasi teks al-Quran; kembali ke sumber-sumber klasik yang menghimpun, menguji kesahihan, menjelaskan konteks dan menafsirkan hadis-hadis Nabi dan Sahabatnya. Kecenderungan kaum Wahhabi yang anti-tradisi intelektual dan mengambil kesimpulan hukum melalui jalan pintas dengan dalih kembali ke al-Quran dan Sunnah. Sehingga metode mereka sangat selektif, tidak sistematis dan oportunis. (h. 173-175)
Dalam contoh kasus produk-produk fatwa mereka yang merendahkan martabat perempuan. Misalnya masalah jilbab dan aurat perempuan, ketaatan istri pada suami; perintah sujud, dan menjilati bisul, menyamakan perempuan dengan anjing, keledai dan setan, perempuan adalah penghuni neraka terbanyak, perempuan adalah seonggok fitnah yang mengundang birahi dan lain-lain. Problem yang mendasar dari produk fatwa mereka adalah tidak adanya penguasaan terhadap sumber-sumber klasik (persoalan kompetensi dan penetapan makna) yang seharusnya dijadikan pegangan dalam menjelaskan dalil-dalil yang mereka gunakan. Selain itu, mereka melanggar lima syarat ‘wakil khusus’; kejujuran, kesungguhan, kemenyeluruhan, rasionalitas dan pengedalian diri. Hal yang mendasar juga adalah, adanya asumsi-asumsi dasar (nilai, metodologis, akal, dan iman) yang problematis dalam proses pengambil keputusan hukum.
Dalam persoalan kompetensi ahli hukum CRLO gagal memilih teks-teks yang otoritatif untuk memandang perempuan; mereka menggunakan hadis-hadis bermasalah (baik dari segi sanad atau matan-nya: hadis-hadis riwayat Abu Hurayrah); mereka juga tidak jujur, tidak sungguh-sungguh, dan ceroboh karena hanya menghadirkan dalil-dalil yang merendahkan perempuan sementara dalil-dalil yang menghormati perempuan mereka tutupi.
Pun mereka juga menggunakan asumsi-asumsi dasar yang bermasalah: pandangan mereka yang merendahkan perempuan bertentangan dengan asumsi berbasis nilai dalam Islam yang mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan, mereka tidak menggunakan metodologi hukum Islam (ushûl al-fiqh, mushthalah al-hadîs, al-jarh wa al-ta‘dîl, takhrîj al-hadîts, ‘ulûm al-tafsîr, ‘ulûm al-Qur’ân, dll) sebagai alat dan sarana untuk menggali hukum yang selama ini dikenal luas dalam tradisi hukum Islam sehingga tidak memiliki asumsi berbasis metodologis yang kuat.
Jika laki-laki lemah secara moral mengapa perempuan disalahkan sehingga perlu dipasung di rumah atau ditutup rapat-rapat? Bukankah dalam pandangan mereka laki-laki justeru memiliki karakter lebih kuat dan stabil sehingga bisa menjadi pemimpin masyarakat? Asumsi dasar yang benar-benar bertentangan dengan akal.
Memahami Syariat Islam Sebagai “Fikih Progresif”
Salah satu sumbangan ide terbesar Khaled Abou El Fadl terhadap diskursus hukum Islam kontempoter adalah membongkar malpraktik otoritarianisme dalam hukum Islam. Fenomena ini menurut Khaled menjadi mainstream pemahaman umat Islam tehadap hukum Islam pada dewasa ini. Sehingga lahir wacana hukum Islam dan fikih yang otoriter, tertutup dan statis.
Padahal sejak dini, Khaled ingin menunjukkan hukum Islam layak dipuji sebagai “jantung dan inti agama Islam”, atau dalam istilah Joseph Schacht “puncak peradaban Islam” dan menurut Al-Jabiri “peradaban Islam adalah peradaban fikih” karena fikih memiliki kelenturan, keterbukaan, dan antiotoritarianisme.
Idealnya diskurus hukum Islam bagi Khaled adalah diskurus fikih yang inklusif, toleran dan progresif. Obsesi Khaled adalah mengembalikan syariat Islam dalam diskursus fikih yang mengalami keragaman, penyegaran, pembaruan dan progresif. Bagaimana trik-trik Khaled tersebut? Paling tidak beberapa poin di bawah ini bisa mewakilinya.
Pertama, Khaled memandang al-Quran dan Sunnah—sumber otoritatif hukum Islam—sebagai “teks yang terbuka” maka konsekwensi logisnya adalah meyakini hukum Islam sebagai karya yang terus berubah (Islamic law as a work in movement). Untuk itu teks-teks otoritatif sebagai sumber dari hukum Islam tidak boleh dikunci, ditutup dan dipasung sehingga meniscayakan penafsiran dan pemahaman baru akan terus-menerus lahir. Teks yang terbuka akan mampu menampung gerak dinamis pemahaman manusia dengan keragaman konteksnya. Memasung makna teks merupakan tindakan kriminal sekaligus kesombongan intelektual karena telah mengklaim dirinya paling mengetahui maksud Tuhan. Selain itu sikap tersebut akan menutup rapat-rapat bagi lahirnya pemahaman-pemahaman (fikih) baru yang menjadi kebanggaan umat Islam sepanjang sejarah.
Kedua, mengembalikan diskursus hukum Islam pada semangat awal, yaitu meneguhkan kembali jtihad sebagai upaya pengerahan sekuat-kuatnya kemampuan manusia untuk melakukan pencarian, penyeledikan dan pemahaman terhadap Kehendak Tuhan. Dalam konteks ini Khaled membedakan antara syariah dan fikih. Syariah adalah Kehendak Tuhan dalam bentuk yang abstrak dan ideal, tapi fikih merupakan upaya manusia memahami Kehendak Tuhan.
Dalam pengertian ini syariah selalu dipandang sebagai yang terbaik, adil dan seimbang. Sedangkan fikih hanyalah upaya untuk mencapai cita-cita dan tujuan syariah (maqâshid al-Syarî’ah). Tujuan syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan manusia (tahqîq mashâlih al-’ibâd) dan tujuan fikih adalah untuk memahami dan menerapkan syariah. Perbedaan ini lahir dari pengakuan atas kegagalan-upaya-manusia untuk memahami tujuan dan maksud Tuhan. Dalam konteks ini ijtihad manusia tidak pernah final dan sempurna. (h. 32)
Ketiga revitalisasi metodologi hukum Islam klasik. Bagi Khaled, hukum Islam secara kukuh menentang kodifikasi dan penyeragaman (Islamic law has staunchly resisted codification or uniformity). Metodologi hukum Islam memiliki ciri yang terbuka dan antiotoritarianisme (tradisional Islamic methodology has been its open-ended and anti-authoritarian character).
Namun yang menjadi persoalan dewasa ini adalah kecenderungan praktik hukum Islam yang memperlakukan syariat Islam sebagai perangkat aturan (ahkâm) yang mapan, statis dan tertutup yang harus diterapkan tanpa menyisakan ruang yang luas untuk pengembangan dan keragaman. Singkatnya hukum Islam pada modern ini dipandang sebagai perangkat aturan (ahkâm) bukan sebagai sebuah proses pemahaman (fiqh). Kecenderungan yang berpotensi melahirkan otoritarianisme dalam mehahami hukum Islam itu yang terus dilawan oleh Khaled.
Akhirnya Khaled menginginkan syariah dipahami dalam diskursus pergulatan yang terus berubah dan bergerak maju; diskursus fikih yang progresif. Sedangkan penguncian makna syariah pada pemahaman (fiqh) tertentu akan melahirkan fikih yang otoriter; yang tertutup dan sewenang-wenang. Wallâhu A‘lam.
Idzâ jâza lanâ annusammî al-hadlârah al-islâmiyah bi ihdzâ muntajâtihâ fa’innahu sayakûnu ‘alaynâ an naqûlu ‘anhâ innahâ hadlârah fiqh. Muhammad Abid Al-Jabiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafî al-‘Arabî, h. 96
Fikih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, 2004
Beberapa karya Khaled Abou El-Fadl dalam Hukum Islam: And God Knows The Soldier: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse, Maryland: University Press of America, 2001, Rebellion and Violence in Islamic Law, Cambridge: Cambridge University Press, 2001, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women, Oxford: Oneworld Publications, 2003—buku-buku Khaled ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Serambi .
Sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, Jogjakarta: Islamika, 2004
Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s Name, Islamic Law, Authority, and Women, Oxford: Oneworld Publication, 2003, edisi bahasa Indonesia, Atas Nama Tuhan, Jakarta: Serambi, 2004
Hadis Ahad diriwayatkan melalui mata rantai periwayatan tunggal sedangkan Hadis Mutawatir diriwayatkan melalui beberapa mata rantai periwayatan dan diasumsikan hadis mutawatir tidak mungkin dipalsukan. Namun ‘Abd Razzaq Id dalam bukunya Sadnah Hayâkil al-Wahm: Naqd al-’Aql al-Fiqhî: Beirut: Dar al-Thalî’ah, 2003, h. 36-40, menyangsikan keberadaan hadis-hadis mutawatir itu. Karena peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah Nabi; seperti usia Nabi, hari/ tanggal wafat dan pemakaman Nabi, serta hari pembaiatan Abu Bakar, yang seharusnya setiap sahabat mengetahui secara pasti namun realitanya tidak ada kesepakatan riwayat di antara sahabat Nabi. Jika peristiwa-peristiwa besar itu saja tidak diriwayatkan melalui hadis-hadis mutawatir maka sabda-sabda Nabi yang lain—yang belum tentu didengar oleh banyak sahabat—sangat mustahil disebut hadis mutawatir. ‘Abd Razaq juga menyebut lebih dari 300 khutbah jumat Nabi yang semestinya menjadi hadis-hadis mutawatir hilang.
Al-Sunnah wa Dawruhâ fi al-Fiqh al-Jadîd dalam Nahw Fiqh Jadîd, jilid II, h. 249-260, bandingkan juga dalam al-Islâm Kamâ Taqaddamahu Da’wah al-Ihyâ’ al-Islâmî, h. 100-104
Farid Esack, Membebaskan Yang Tertindas, Bandung: Mizan, 2000, h. 87
Nashr Hamid Abu-Zayd, Naqd al-Khithâb al-Dînî, Cairo: Madbuli, 1995, h. 221
Tidak ada komentar:
Posting Komentar