Senin, 28 Februari 2011


ISLAM MEMBATASI POLIGAMI DENGAN EMPAT ISTRI
MENGGANTI POLIGAMI DILARANG
Oleh : Mahmud Huda

Pendahuluan
Islam adalah agama fitrah yang sesuai berbagai keperluan dan kehendak manusia dalam hidup berpasangan. Berasaskan kepada keadaan inilah Islam membenarkan poligami yang merupakan amalan masyarakat turun temurun sejak sebelum kedatangan Islam lagi. Untuk mengamalkan poligami secara yang lebih adil dan dapat menjamin kesejahteraan hidup ummah seluruhnya, Islam telah menetapkan syarat-syarat tertentu yang menghadirkan amalan yang bebas sebelum ini dan mengambil jalan pertengahan yang lebih wajar. Syariat Islam menetapkan bahwa seorang lelaki boleh kawin dengan lebih dari seorang perempuan tetapi tidak melebihi empat orang. Asas pensyariatan yang menjadi dalil utama di dalam keharusan berpoligami ialah firman Allah SWT dalam surah an-Nisa’, ayat 3 :

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[1], Maka (kawinilah) seorang saja[2], atau tangan kananmu (budak perempuan atau tawanan perang). yang demikian itu adalah lebih dekat kepada perbuatan yang tidak aniaya”.[3]
Poligami bukanlah suatu prinsip yang wajib dilaksanakan di dalam syariah Islam sehingga boleh menyebabkan berdosa jika tidak mengamalkannya. Poligami hanya merupakan perkara harus dan satu rukhsah (keringanan) dalam keadaan darurat. Jelasnya di sini walaupun bahasa yang digunakan di dalam ayat di atas berunsur perintah, ia bukanlah membawa kepada makna wajib dilaksanakan. Bahkan jika diamati ayat tersebut  membawa kepada jalan tengah dalam suatu permasalahan dan haram hukumnya jika suami yang berpoligami tidak berupaya berlaku adil dan mengakibatkan penganiayaan terhadap isteri yang dikawini.

Dekonstruksi Poligami
Poligami telah menjadi salah satu isu pentinng dalam pembaruan Islam dan gerakan feminisme. Locus interpretasi dan reinterpretasinya adalah “ayat poligami” berikut:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau tangan kananmu (budak perempuan atau tawanan perang). yang demikian itu adalah lebih dekat kepada perbuatan yang tidak aniaya.[4]
Pada akhir abad ke-19, Muhammad Abduh beragumentasi bahwa poligami adalah tradisi tua yang tidak berakhir ketika Islam muncul di Semenanjung Arab pada abad ketujuh. Perempuan diperlakukan sebagai ‘sesuatu antara manusia dan hewan. Menurut Abduh, terdapat penghinaan yang kuat terhadap perempuan dalam lembaga poligami. Islam datang untuk memperdayakan perempuan dan untuk memberikan hak dan keadilan kepada mereka. Sementara dalam tradisi pra-Islam poligami tidaklah dibatasi, al-Qur’an datang memberi batasan maksimum empat istri dengan syarat bahwa sang suami dapat berlaku adil kendatipun dia ingin sekali melakukannya[5]. Abduh berargumen bahwa semangat pernikahan dalam al-Qur’an adalah monogami (satu istri titik). Memiliki lebih dari seorang istri diperkenankan hanya dengan satu syarat, yakni bahwa istri pertama terbukti tidak bisa memberikan keturunan. Itu disebabkan karena tujuan pernikahan dalam Islam, menurut Abduh, adalah untuk mempunyai keturunan.[6]
Pendapat lain dikemukakan oleh Fazlur Rahman berdasarkan atas distingsi antara aspek legal dan cita moral al-Qur’an. Dia yakin bahwa hanya melalui distingsi ini kaum muslim tidak hanya dapat memahami: orientasi yang sejati (true orientation) al-Qur’an, namun juga dapat memecahkan problem-problem kompleks tertentu yang berkaitan dengan pembaruan perempuan.[7] Rahman sampai pada kesimpulan bahwa:
Yang benar tampaknya bahwa diizinkannya poligami adalah pada taraf legal, sementara sanksi-sanksi yang diberikan kepadanya pada hakikatnya adalah sebuah cita-cita moral yang mana masyarakat diharapkan bergerak ke arahnya, karena tidaklah mungkin untuk menghapuskan poligami secara legal sekaligus.[8]

Dalam mendiskusikan ayat poligami diatas, berkaitan dengan apakah itu merupakan sesuatu yang ekstrinsik menghubungkan manusia dengan yang lainnya ataukah sesuatu yang intrinsik yang mengekspresikan batin dikomunikasikan dengan batin manusia lainnya.[9] Maka terdapat tiga langkah, pertama, konteks teks ini sendiri. Dengan mengkonstraskan absennya praktek hukum memiliki ‘yang dimiliki tangan kananmu’ (budak perempuan atau tawanan perang) sebagai ‘selir’ dalam wacana Islamis pada satu sisi, dan untuk mempertahankan poligami: “maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu sukai: dua, tiga, atau empat”, pada sisi lain. Ada sesuatu yang hilang, yakni kesadaran, yakni kesadaran akan historisitas teks keagamaan, bahwa ia adalah teks linguistik dan bahwa bahasa adalah sebuah produk sosial dan kultural. Sebagaimana Muhammad Abduh, bahwa izin bagi seorang laki-laki untuk menikah dengan hingga empat istri haruslah diletakkan dalam konteks hubungan antara manusia, khususnya hubungan antara laki-laki dan perempuan sebelum kedatangan Islam. Dalam periode pra-Islam, di mana hukum kesukuan sangat dominan, poligami tidaklah dibatasi. Dalam konteks ini, izin untuk memiliki istri sampai empat haruslah dipahami sebagai awal dari sebuah upaya pembebasan, bahwa pembahasan ini haruslah dilihat sebagai perubahan ke arah pembebasan perempuan dari dominasi laki-laki. Dengan demikian, dalam konteks ini tetaplah dalam semangat al-Qur’an jika kaum muslim pada saat ini mendukung bahwa seorang laki-laki cukup menikahi satu orang istri. Abu Zayd mengatakan poligami Nabi, sebagai seorang pemimpin, merupakan praktek yang umum bagi seorang pemimpin pada zaman pra-Islam, yang belum dihapus ketika datangnya Islam, bahkan oleh Nabi sendiri.[10]
Langkah kedua adalah meletakkan teks dalam konteks al-Qur’an secara keseluruhan. Diharap bahwa “yang tak terkatakan” atau yang implisit dapat diungkap dengan menggunakan hermeneutika bahasa dan hermeneutik phenomenologik.[11] Dalam teks al-Qur’an sendiri juga menyarankan untuk hanya memiliki seorang istri jika suami takut tidak bisa berbuat adil: “jika kamu takut tidak bisa berbuat adil (terhadap mereka), maka seorang saja”. Demikian pula teks lain mengatakan bahwa sikap adil terhadap para istri adalah tidak mungkin dilakukan: “kamu tidak akan bisa berlaku adil di antara istri-istri kamu meskipun kamu sangat berkeinginan melakukannya”. Analisis linguistik menyarankan bahwa sikap adil di antara para istri tidaklah mungkini dilakukan. Penggunaan klausa kondisional (pengandaian) dan penggunaan partikel kondisional law (jika) menandakan penegasian terhadap jawab al-syarth (konklusi dari klausa kondisional) disebabkan karena adanya penegasian terhadap (syarth) itu. Yang paling penting diperhatikan adalah penggunaan partikel lan (tidak akan pernah) yang berfungsi sebagai koroborasi (ta’yid) di awal kalimat, ini menunjukkan bahwa ‘dapat bertindak adil tidak akan pernah terjadi’. Menurut Abu Zayd, terdapat negasi ganda: Pertama, nagasi total terhadap kemungkinan bertindak adil terhadap dua istri atau lebih, dan kedua, negasi terhadap kemungkinan keinginan untuk berbuat adil terhadap mereka.[12] Dengan distingsi ‘Adil Dhahir tentang mabda’ (prinsip), qa’idah (kaidah), hukm (hukum). Keadilan, kebebasan, hak untuk hidup, dan kebahagiaan, termasuk dalam kategori mabda’. Qa’idah adalah derivasi dari mabda’ itu dan tidak boleh bertentangan dengannya. Contohnya: “jangan mencuri, jangan berzina, jangan berbuat kesaksian palsu, jangan mengganggu orang lain”, adalah termasuk mabda’.
Dalam konteks jurisprudensi Islam, tujuan universal syari’at (maqashid al-kulliyah li al-syari’ah) adalah apa yang diusulkan oleh asy-Syathibi, yakni perlindungan terhadap agama, harta, akal, martabat, dan kehidupan. Dengan tiga prinsip umum yang lebih universal. Pertama, rasionalisme (‘alaniyyah) sebagaimana dilawankan dengan jahiliyyah, dalam pengertian mentalitas kesukuan dan tindakan emosional. Kedua, kebebasan (hurriyah), sebagaimana dilawankan dengan segala bentuk perbudakan (ubudiyyah). Ketiga, keadilan (‘adalah) sebagaimana dilawankan dengan eksploitasi manusia (zhulm).
Dalam konteks poligami, keadilan adalah mabda’ (prinsip) sementara untuk mewakili sampai empat istri adalah hukm. Hukm tidak menjadi qa’idah apalagi menjadi mabda’. Hukm adalah peristiwa spesifik dan relatif, tergantung kepada perubahan kondisi yang melingkupinya. Ketika terdapat kontradiksi antar mabda’ dan hukm, yang terakhir ini haruslah dikalahkan untuk mempertahankan yang pertama. Al-Qur’an tidak menetapkan untuk mempertahankan yang pertama. Al-Qur’an tidaklah menetapkan hukum (tasyri’) terkait dengan masalah poligami, namun memang mengungkapkan sebuah limitasi terhadap poligami. Dalam Al-Qur’an melarang poligami ‘secara tersamar’ dengan kata lain limitasi itu sesungguhnya mengindikasikan pelarangan (pengharaman) secara tersamar (al-tahrim al-dhimni).
Pada langkah ketiga, berdasarkan atas kedua langkah di atas, yaitu sebuah pembaruan hukum Islam. Dalam hukum Islam klasik, poligami diklasifikasikan di bawah bab “hal-hal yang diperbolehkan” (al-mubahat). Term “pembolehan” (ibahah) tidaklah sesuai karena pembolehan terkait dengan hal yang tidak dibicarakan oleh teks, sementara pembolehan poligami dalam al-Qur’an pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari poligami yang tidak terbatas yang telah dipraktekkan sebelum datangnya Islam. Pembatasan tidak berarti pembolehan. Namun demikian, poligami tidak masuk dalam bab “palarangan (pengharaman) terhadap hal yang diperbolehkan”. Berdasarkan atas distingsi ‘Adil Dhahir di atas bahwa poligami haruslah diperlakukan sebagai hukum, yang tidak dapat menjadi sebuah kaidah, apalagi prinsip. Keadilanlah yang merupakan prinsip yang harus dipertahankan dalam level kaidah dan hukum. Oleh karena itu, ada konklusi yang “mengambang” tentang argumentasinya tentang “pelarangan secara tersamar” di atas, dan poligami sebagai hukum yang tidak boleh merusak kaidah dan prinsip, dapat dijelaskan bahwa dalam argumen terakhirnya poligami haruslah dilarang. Untuk itu, perhatikan diagram di bawah ini.

Interpretasi tentang poligami



 



















Kesimpulan
Wacana al-Qur’an tentang poligami mempunyai lavel makna ketiga, dimana pemahaman haruslah melampaui makna historisnya dengan menguak signifikansi masa kininya. Bahkan, mampu menguak dimensi “yang tak terkatakan” dari suatu pesan. Akhirnya, penggunaan distingsi ‘Adil Dhahir tentang prinsip (mabda’), kaidah (qa’idah), dan hukum (hukm) menarik untuk dicermati. Dengan penggunaan distingsi ini, pandangan bahwa poligami adalah dilarang dapat dengan mudah dan sistematis dipahami.
Daftar Pustaka


Abduh, Muhammad, Al-A’mal al-Kamilah, Jilid II. Beirut dan Kairo: Dar al-Syuruq, 1993/1414.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra, 1999.
Muhdjir, Noeng, Filsafat Ilmu Kualitatif dan Kuantitatif untuk Pengembangan Ilmu dan Penelitian, edisi III,Yogyakarta, Rake Sarasin, 2006.
Rahman, Fazlur, Major Themes of the Qur’an, Chicago: Bibliothece, 1980.
Zayd, Nasr Abu, Dawa’ir al-Khawf: Qira’ah fi Khithab al-Mar’ah, al-markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1999.


[1] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.

[2] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.

[3] Q.S. An-Nisa’ (4) : 3.

[4] Q.S. An-Nisa’ (4) : 3.
[5] Q.S. An-Nisa’ (4) : 129.

[6] Muhammad Abduh, Al-A’mal al-Kamilah, II. (Beirut dan Kairo: Dar al-Syuruq, 1993/1414), hlm. 82-85, 92-95.

[7] Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, (Chicago: Bibliothece, 1980), hlm. 47.

[8] Ibid., hlm. 48.

[9] Noeng Muhdjir, Filsafat Ilmu Kualitatif dan Kuantitatif untuk Pengembangan Ilmu dan Penelitian, edisi III, (Yogyakarta, Rake Sarasin, 2006), hlm. 138.

[10] Nasr Abu Zayd, Dawa’ir al-Khawf: Qira’ah fi Khithab al-Mar’ah, (al-markaz al-tsaqafi al-arabi, 1999), 187-188.

[11] Noeng Muhdjir, Filsafat Ilmu, hlm. 154.
[11] Nasr Abu Zayd, Dawa’ir al-Khawf, hlm. 112-116

Tidak ada komentar:

Posting Komentar