Disuatu pertemuan, seorang laki-laki spontan berkata “datangmi gender” ketika seorang perempuan masuk dalam ruangan pertemuan tersebut. Itu berarti bahwa, sampai saat ini masih banyak orang berpendapat bahwa gender sama dengan perempuan. Karena itu, dalam laporan assesment ini sengaja memasukkan satu bab khusus untuk membahas ”Gender dan Seks”, semata-mata bermaksud untuk membangun persepsi yang sama tentang defenisi, konsep dan substansi tentang gender. Kata Gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggeris. Dalam kamus, memang tidak jelas perbedaan antara gender dan seks. Karena gender/jender diartikan jenis kelamin, sama seperti halnya seks (jenis kelamin).
Makanya para aktifis perempuan seringkali menyebutkan bahwa gender adalah jenis kelamin sosial, untuk membedakan pemahaman tentang seks/jenis kelamin. Untuk membedakan konsep gender, maka harus membedakan kata gender dan seks/jenis kelamin. Gender adalah pembedaan peran, status, pembagian kerja yang dibuat oleh sebuah masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Mansour Fakih menyebutkan bahwa gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Misalnya, bahwa perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan, identik dengan warna lembut-pink. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa, pemimpin dan identik dengan warna biru. Pembedaan ini bukan harga mati, sangat bisa dipertukarkan satu dengan yang lain, hanya saja karena pembedaan ini sudah di konstruksi secara sosial dan budaya sehingga melekat dan menjadi identik dengan jenis kelamin tertentu. Seperti halnya dengan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, menjahit, membersihkan rumah, mencuci pakaian sering dianggap pekerjaan perempuan. Sementara pekerjaan laki-laki seperti memperbaiki rumah, ikut dalam rapat-rapat atau pertemuan bahkan urusan politik seringkali menjadi urusan laki-laki. Ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain dan berbeda dari zaman ke zaman. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain itulah yang dinamankan gender (Mansour Fakih).
Sedangkan seks atau jenis kelamin adalah pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu, tidak dapat dipertukarkan dan merupakan kodrat, pemberian dari Tuhan. Misalnya, laki-laki memiliki penis, memiliki jakala dan memproduksi sperma. Dan perempuan memiliki vagina, haid, memproduksi telur/ovum, memiliki potensi ; melahirkan dan menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis tidak dapat dipertukarkan antara alat biologis yag dimiliki oleh perempuan ditukarkan kepada laki-laki demikian pula sebaliknya.
Gender SeksMerupakan pembedaan peran, hak dan kewajiban, kuasa dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan masyarakat. Pembedaan bukan kodrat,melainkan buatan manusiaPerbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Perempuan menghasilkan sel telur, hamil dan melahirkan. Laki-laki memiliki penis, memiliki jakala dan menghasilkan spermaGender tidak sama di seluruh dunia, tergantung dari budaya dan perkembangan masyarakat di satu wilayah Perbedaan seks sama di seluruh dunia bahwa perempuan hamil, sementara laki-laki tidakGender berubah dari waktu ke waktu. Setiap peristiwa dapat merubah hubungan antara laki-laki perempuan dalam masyarakat Perbedaan seks tidak berubah dari waktu ke waktu. Dari dahulu hingga sekarang dan masa datang, laki-laki tidak mengalami menstruasi dan tidak dapat hamil Dalam pembahasan mengenai gender, termasuk kesetaraan dan keadilan gender dikenal adanya dua aliran atau teori yaitu : Teori Nurture dan Teori Nature. Namun demikian dapat pula dikembangkan satu konsep teori yang diilhami dari 2 konsep teori tersebut yang merupakan kompromistis atau keseimbangan yang disebut dengan teori equilibrium. Secara rinci teori teori tersebut diuraikan sebagai berikut :
a. Teori Nurture
Menurut teori Nurture adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakekatnya adalah hasil konstruksi social budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki dalam perbedaan kelas. Laki-laki diidentikkan dengan kelas penindas (borjuis), dan perempuan sebagai kaum tertindas (proletar). Aliran nurture melahirkan paham sosial konflik yang banyak dianut masyarakat sosial komunis yang menghilangkan strata penduduk (egqlitarian). Paham social konflik memperjuangkan kesamaan proporsional (perfect equality) dalam segala aktifitas masyarakat seperti di DPR, Militer, Menejer, Menteri, gubernur, Pilot dan pimpinan partai politik.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dibuatlah program khusus (affirmative action) guna memberikan peluang bagi pemberdayaan perempuan agar bias termotivasi untuk merebut posisi yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki. Akibatnya sudah dapat di duga yaitu timbulnya reaksi negative dari laki-laki yang apriori terhadap perjuangan tersebut yang dikenal perilaku “ male backlash “
b. Teori Nature
Menurut Teori Nature, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat, sehingga harus diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan implikasi bahwa diantara kedua jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada yang tidak bisa karena memang berbeda secara kodrat alamiahnya.
Perbedaan biologis diyakini memiliki pengaruh pada peran yang bersifat naluri (instinct). Perjuangan kelas tidak pernah mencapai hasil yang memuaskan, karena manusia memerlukan kemitraan dan kerjasama secara structural dan fungsional. Manusia, baik perempuan maupun laki-laki, memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsinya masing- masing. Dalam kehidupan social ada pembagian tugas (division of labor) begitu pula dalam kehidupan keluarga. Harus ada kesepakatan antara suami isteri, siapa yang menjadi kepala keluarga dan siapa yang menjadi kepala rumah tangga.
Dalam organisasi social juga dikenal ada pimpinan dan ada bawahan (anggota) yang masing-masing mempunyai tugas, fungsi, dan kewajiban yang berbeda dalam mencapai tujuan. Parson dan Bales berpendapat bahwa keluarga adalah sebagai unit social yang memberikan perbedaan peran suami dan isteri untuk saling melengkapi dan saling bantu membantu satu sama lain Peranan keluarga semakin penting dalam masyarakat modern terutama dalam pengasuhan dan pendidikan anak.
Keharmonisan hidup hanya dapat diciptakan bila terjadi pembagian peran dan tugas yang serasi antara perempuan dan laki-laki, dan hal ini dimulai sejak dini melalui “Pola Pendidikan” dan pengasuhan anak dalam keluarga.
c. Teori Equilibrium (keseimbangan)
Disamping kedua teori tersebut maka terdapat kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan (equilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki-laki, karena keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Hubungan laki-laki dan perempuan bukan dilandasi konflik dikotomis, bukan pula struktural fungsional tetapi dilandasi kebutuhan kebersamaan guna membangun kemitraan yang harmonis, karena setiap pihak punya kelebihan sekaligus kekurangan, kekuatan sekaligus kelemahan yang perlu diisi dan dilengkapi pihak lain dalam kerjasama yang setara.
(Dikutip dari Modul Capacity Building Pengarusutamaan Gender ke dalam Kebijakan dan Program Pembangunan di Sulsel, PPG UNHAS-UNDP, 2006 Hal 11-12)
Sejarah perbedaan gender antara manusia jenis kelamin laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstuksi secara sosial dan kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Karena sosialisasinya sudah berlangsung sangat lama, dan terinternalisasi dalam setiap langkah kehidupan
masyarakat, sehingga gender akhirnya dianggap sebagai pemberian/ketentuan Tuhan – seolah-olah bersifat biologis tidak bisa diubah dan dianggap sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan. Hal ini mempengaruhi biologis masing-masing jenis kelamin. Karena konstruksi sosial gender, laki-laki harus bersifat kuat dan agresif, maka laki-laki kemudian terlatih dan termotivasi untuk menuju sifat gender yang ditentukan oleh masyarakat. Misalnya, anak laki-laki kalau jatuh dari sepeda dilarang menangis meskipun sakit-karena menangis dikatakan cengeng dan itu melekat pada perempuan. Sebaliknya, karena perempuan harus lemah lembut, maka sosialisasi ini dilakukan sejak bayi dan berpengaruh pada perkembangan fisik dan biologis seorang perempuan.
Terjadinya kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut gender dan seks justru meneguhkan pemahaman yang tidak pada tempatnya di masyarakat. Sering diungkapkan bahwa mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan rumah atau dengan kata lain urusan domestik, melayani suami seringkali dianggap kodrat perempuan, sementara mencari nafkah menjadi urusan laki-laki atau dengan kata lain urusan publik adalah urusan laki- laki. Sehingga di daerah pedesaan seringkali ditemukan bahwa perempuan terpolakan sebagai mahluk domestik dan sebagai mahluk malam dan laki-laki terpolakan sebagai mahluk publik dan mahluk siang. Di siang hari, mobilitas perempuan berada pada radius yang sangat terbatas sementara laki-laki dengan radius yang jauh dan luas. Curah waktu yang dihabiskan bagi perempuan lebih panjang ketimbang laki-laki. Perempuanlah yang paling lambat menuju ke pembaringan di malam hari dan paling cepat bangun di pagi hari. Apatah lagi jika perempuan juga bekerja di publik (luar rumah) akan lebih berat beban kerja yang diterima karena ketika pulang di rumah akan melanjutkan dengan pekerjaan- pekerjaan domestik. Domestikasi perempuan juga dapat dilihat pada upacara pernikahan, laki-laki cenderung menempatkan diri diruang depan rumah sementara perempuan cenderung menempatkan diri di ruang tengah atau diruang belakang. Tentu, hal ini terkait dengan tugas-tugas yang dilabelkan kepada perempuan, bahwa pada ruang tengah dan belakang terdapat pekerjaan-pekerjaan rumah tangga misalnya memasak, membuat kue, mncuci piring dan lain-lain (Alwy Rahman, 1998). Padahal sebenarnya peran ini merupakan peran gender yang justru harus dilakukan bukan hanya perempuan tetapi juga dapat dilakukan oleh laki-laki. Urusan politik seringkali dikonotasikan dengan urusan laki-laki, pemimpin sebuah negara adalah laki-laki, makanya muncul isu gender pada saat Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden RI (2001-2004) hanya karena seorang perempuan mencalonkan diri sebagai Presiden.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar