Jumat, 25 Februari 2011

Problematika Seputar Marital Rape

Terminologi marital rape bertasal dari bahasa inggris, marital yaitu sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, sedangkan rape berarti perkosaan. Tegasnya, marital rape adalah perkosaan yang terjadi antara suami istri dalam hubungan perkawinan. Perkosaan yang dimaksud disini adalah pemaksaan untuk melakukan aktivitas seksual oleh satu pihak, yakni suami terhadap pihak lain, istri, atau sebaliknya. Namun, pengertian yang lebih umum dipahami oleh berbagi kalangan perihal marital rape, adalah istri yang mendapat tindak kekerasan seksual oleh suami dalam perkawinan atau rumah tangga. Berdasarkan pemaparan diatas, penulis mencoba menegaskan bahwa marital rape adalah tindak kekerasan atau pemaksaan yang dilakukan oleh suami terhadap istri untuk melakukan kativitas seksual tanpa mempertimbangkan kondisi istri.
Berdasarkan paparan tersebut, muncul satu pertanyaan mendasar benarkan keinginan suami secara paksa terhadap istri untuk mendapatkan kebutuhan seksualitasnya bisa dikategorikan dalam perkosaan? Bukankah antara mereka sudah ada keterikatan emosi yang kuat, mengapa harus dikatakan sebagai sebuah perkosaan? Pertanyaan-pertanyaan ini memang sangat tergantung pada perspektif yang digunakan untuk memaknai “seksualitas” dalam rumah tangga, termasuk juga bagaimana pula dalam memahami konsep relasi suami istri, secara agama mapun secara sosiologis.
Pernikahan lazim dipahami sebagai aqd tamlik (akad kepemilikian). Artinya, dengan adanya lembaga perkawinan suami mempunyai hak atas istri, termasuk hak untuk memiliki tubuh istri dan menggunakan pelayanan seksual.[1] Untuk selanjutnya apakah dibenarkan jika suami memaksa istri melakukan hubungan seksual? Dalam permasalahan ini, Masdar mengemukakan konsep baru, yaitu aqd al-ibadah, yaitu sesuatu yang semula diharamkan kemudian diperbolehkan karena ikatan perkawinan, dalam hal ini adalah hubungan seksual. Hubungan ini bisa menjadi ibadah, serta di dalam ibadah tidak ada prinsip kekerasan.[2] Di sini bisa dipahami bahwa hubungan seksual tidak hanya berupa hubungan fisik, tetapi memiliki dimensi ibadah, maka nilai ibadahnya juga ditentukan oleh keikhlasan secara psikologis, tanpa keterpaksaan atau merasa terpaksa.


[1] Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, (Bandung: Mizan, 1997) hlm. 14.

[2] Ibid., hlm. 15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar