Jumat, 25 Februari 2011

FENOMENA GENDER

1. PENDAHULUAN
Beberapa tahun belakangan ini istilah gender menjadi bahan perbincangan yang hangat di berbagai forum dan media, formal maupun informal. Hampir setiap bidang pembangunan menganjurkan dilaksanakannya analisis gender dalam komponen program. Namun, tidak sedikit pula yang masih menganggap bahwa Gender adalah sama dengan jenis kelamin atau lebih sempit lagi, gender = perempuan. Hal ini tidak mengherankan mengingat memang lebih banyak kaum perempuan yang mendapat dampak dari ketidakadilan gender dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat, daripada kaum laki-laki. Sehingga, ketika masalah gender diperbincangkan, seolah-olah hal tersebut telah identik dengan masalah kaum perempuan.
Apa itu gender?
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti "jenis kelamin". Dalam Webster's New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Di dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminin is a component of gender).
Berdasarkan Inpres No. 9 Tahun 2000 disebutkan bahwa
§ Gender merupakan konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.
§ Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
2. GENDER DALAM TINJAUAN ILMU SOSIAL
Ditinjau dari teori evolusi, sejarah gender ini sebenarnya telah berlangsung lama, meskipun istilah gender belum dikenal saat itu. Sejak jaman pra sejarah perempuan dan laki-laki mempunyai peran tersendiri, namun dalam hal kebijakan laki-laki sangat dominan dan seiring dengan perkembangan jaman peran perempuan semakin meluas di segala sisi. Keterpurukan peran perempuan pada beberapa zaman seperti jaman jahilia di Jasirah Arab juga menggambarkan betapa perempuan pada jaman dahulu dipandang sebelah mata.
Kesamaan perempuan dan laki-laki dimulai dengan dikumandangkannya ‘emansipasi’ di tahun 1950 dan 1960-an. Setelah itu tahun 1963 muncul gerakan kaum perempuan yang mendeklarasikan suatu resolusi melalui badan ekonomi sosial PBB. Kesamaan perempuan dan laki-laki diperkuat dengan deklarasi yang dihasilkan dari konferensi PBB tahun 1975, yang memprioritaskan pembangunan bagi kaum perempuan. Berkaitan dengan itu dikembangkan berbagai program pemberdayaan perempuan, dan mulai diperkenalkan tema Women In Development (WID), yang bermaksud mengintegrasi perempuan dalam pembangunan. Setelah itu, beberapa kali terjadi pertemuan internasional yang memperhatikan tentang pemberdayaan perempuan. Sampai akhirnya sekitar tahun 1980-an, berbagai studi menunjukkan bahwa kualitas kesetaraan lebih penting daripada sekedar kuantitas, maka tema WID diubah menjadi Women and Development (WAD).
Tahun 1992 dan 1993, studi Anderson dan Moser memberikan rekomendasi bahwa tanpa kerelaan, kerjasama, dan keterlibatan kaum laki-laki maka program pemberdayaan perempuan tidak akan berhasil dengan baik. Pada tahun 2000 konferensi PBB menghasilkan ‘The Millenium Development Goals’ (MDGs) yang mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai cara efektif untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit serta menstimulasi pembangunan yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan. Dengan demikian, gender adalah perbedaan peran, sifat, tugas, fungsi, dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang dibentuk, dibuat, dan dikonstruksikan oleh masyarakat dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman.
Dari tinjauan teori konflik, gender menimbulkan banyak benturan. Mulai dari keluarga dimana beberapa suami merasa dengan emansipasi perempuan dalam kebijakan, menimbulkan suami menjadi “kecil” dimata isteri belum lagi istri yang tidak menghiraukan keluarga karena kesibukan di luar rumah yang timbul akibat “gender” dan beberapa persoalan yang mendatangkan rasa tidak nyaman bagi suami/laki-laki dalam lingkungan keluarga. Di Pemerintahan kita banyak melihat PNS wanita yang lebih banyak menganggur daripada bekerja. Umumnya mereka lemah dalam penguasaan komputer sehingga tidak optimal dalam mengerjakan pekerjaan administrasi perkantoran. Padahal potensinya begitu besar kalau kita dapat memberdayakannya. Ada pula cerita tentang seorang perempuan yang baru ikut kursus penyetaraan gender, dan dengan menggebu-gebu dia menceritakan persamaan hak pria dan wanita. Lucunya begitu giliran buat laporan. eh dia pasrah sama pria rajin teman kursusunya.
Secara sosiologis, ada 2 konsep yang menyebabkan terjadinya perbedaan laki-laki dan perempuan:
o Konsep nurture : Perbedaan laki-laki dan perempuan adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda.
o Konsep nature : Perbedaan laki-laki dan perempuan adalah kodrat, sehingga harus diterima.
Dalam proses perkembangannya, disadari bahwa ada beberapa kelemahan konsep nurture yang dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga maupun bermasyarakat, yaitu terjadi ketidak-adilan gender. Agregat ketidak-adilan gender dalam berbagai kehidupan lebih banyak dialami oleh perempuan, namun ketidak-adilan gender ini berdampak pula terhadap laki-laki.
Pengetahuan dan pengalaman kaum perempuan dihadirkan sebagai jalan untuk menghargai kemanusiaan perempuan. Dengan cara semacam ini pula subjektivasi dapat dilakukan khususnya dengan membiarkan perempuan bercerita dan mengungkapkan ekspresinya secara bebas dengan nilai dan ukurannya yang disusun sendiri. Dalam hal ini tataran dan pemaknaan suatu simbol atau isyarat yang diberikan oleh kaum perempuan harus dibedakan pada unit individu, rumah tangga dan keluarga atau bahkan institusi dengan struktur hubungannya sendiri-sendiri. Derajat otonomi perempuan dalam mengekspresikan dirinya sangat berbeda antara satu unit dengan unit lain. Unit-unit itu pula yang mendefinisikan berbagai bentuk hubungan gender yang hadir secara empiris. Diperlukan pemahaman teori-teori gender secara lebih rinci. Meneliti perkosaan sebagai suatu tindak kekerasan tidak akan kaya dengan nilai-nilai perempuan di dalamnya atau tidak akan sensitif dengan isu hubungan gender jika mengambil teori konflik, misalnya. Analisis akan bernuansa gender dalam aspek pengambilan kebijakan jika teori struktur dan fungsi atau teori pertukaran sosial yang dipakai.
3. REFERENSI
Abdullah Irwan. Penelitian berwawasan gender dalam ilmu sosial. Humaniora Volume XV, No. 3/2003. UGM Yogyakarta
Internet (www.asiandevbank.org, www.bappenas.go.id, www.rahima.or.id islamlib.com, wri.or.id, dll)
Judistira, Ilmu-Ilmu Sosial Dasar-Konsep-Posisi. Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran. Bandung 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar