Dari uraian di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa secara vertikal, langkah kriminalisasi poligami kelima negara Muslim di atas telah menunjukkan suatu keberanjakan Hukum Keluarga dari aturan doktrin hukum Islam konvensional. Keberanjakan tersebut bersifat variatif, Turki, misalnya, lebih cenderung memakai metode extra-doctrinal reform semata yang akhirnya menghasilkan kesimpulan larangan mutlak terhadap poligami. Penerapan hukum sipil Barat oleh Turki diklaim oleh sebagian sarjana Turki bukan penyimpangan dari hukum keluarga Islam, melainkan sebagai hasil penafsiran baru terhadap pemahaman yang ada. Demikian pula Tunisia mengambil kebijakan yang hampir sama dengan Turki bahkan dalam bentuk yang lebih ekstrim. Dengan demikian dapat dikatakan pengaruh mazhab-mazhab, baik mazhab mayoritas di kedua negara tersebut (Hanafi untuk Turki dan Maliki untuk Tunisia) atau mazhab-mazhab lainnya paling tidak dalam masalah poligami telah digeser dan digantikan oleh penafsiran baru yang dititikberatkan pada pertimbangan rasional dan kontekstual.
UU Irak pada prinsipnya ia merupakan pengembangan pemikiran mazhab-mazhab Sunni maupun Syi‘i yang dikombinasikan dengan hasil reinterpretasi ayat-ayat Alquran seputar poligami. Pengecualian poligami bagi para janda, contohnya, didasari pada tujuan poligami yang dimaksud Alquran, yakni memelihara dan menjamin anak yatim dan janda. Sedangkan Malaysia dan Indonesia masih berpegang pada konsepsi mazhab-mazhab Sunni, utamanya mazhab Syafi‘i, dalam hal kebolehan poligami. Ditetapkannya sejumlah alasan poligami diinspirasi oleh konsepsi fikih mengenai kewajiban suami atas istri dan alasan terjadinya fasakh. Sementara peran pengadilan dalam pemberian izin poligami dan kriminalisasi poligami merupakan bagian dari bentuk siyasah syariah yang bertujuan mengantisipasi dan memberi daya jera terhadap penyalahgunaan poligami. Di samping itu penafsiran baru terhadap pesan Alquran terkait masalah poligami dan semakin tingginya perhatian terhadap hak-hak kaum wanita juga menjiwai penetapan dan pemberlakuan aturan kriminalisasi poligami tersebut. Dengan demikian Irak, Malaysia, dan Indonesia, dalam melakukan pembaharuan hukum keluarganya, khususnya dalam persoalan poligami, telah menggunakan metode intra-doctrinal dan extra-doctrinal sekaligus.
Secara horizontal, kecuali Turki, empat negara lainnya memiliki kesamaan dalam hal bentuk sanksi hukum yang dijatuhkan kepada pelaku poligami, yakni hukuman penjara dan atau denda. Tunisia, Irak, dan Malaysia malah menetapkan kemungkinan penjatuhan hukuman penjara dan denda sekaligus. Sementara Indonesia hanya memberlakukan hukuman denda kepada pelakunya; penjara atau denda bagi petugas pencatat perkawinan poligami tersebut. Meskipun Turki tidak secara eksplisit menyebutkan bentuk sanksinya, namun secara implisit UU Turki menegaskan bahwa perkawinan poligami adalah tidak sah dan akan dikenai ancaman hukuman (penalty).
Turki dan Tunisia merupakan pengusung terdepan pelarangan dan penegasian keabsahan poligami. Sedangkan Irak, Malaysia, dan Indonesia mengambil arah kebijakan poligami bersyarat, yakni tetap melegalkan poligami sepanjang telah mendapatkan izin dari pengadilan dan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh UU. Mengenai hal yang terakhir ini, Malaysia dan Indonesia memiliki aturan yang tidak jauh berbeda. Keduanya sama-sama memasukkan faktor kondisi/prilaku baik dari suami maupun istri sebagai dasar pertimbangan oleh pengadilan. Sedangkan Irak hanya mengaitkan persyaratan pada pihak suami dalam hal kemampuan finansial dan adanya kebutuhan yang sah secara hukum (kemaslahatan syar‘i), di samping dapat berlaku adil pada para istri. Irak punya ‘ciri khas’ lain dengan mengecualikan kasus poligami bagi janda, suatu hal yang tak diatur baik dalam Hukum keluarga Malaysia maupun Indonesia. Berbeda dengan Turki dan Tunisia, baik Irak, Malaysia, maupun Indonesia, meskipun memberlakukan sanksi hukum dalam poligami, namun tidak mengisyaratkan penolakan keabsahan poligami yang dilakukan. Pada bagian lain, Tunisia dan Indonesia memiliki kesamaan dalam hal penjatuhan sanksi yang dapat menjerat pihak diluar pelaku poligami, suatu ketentuan yang tidak ditemukan baik pada Turki, Irak, maupun Malaysia.
Secara diagonal, Tunisia tampak telah beranjak paling jauh dan radikal dengan menutup pintu poligami serapat-rapatnya melalui pelarangan mutlak disertai hukuman bagi pelanggarnya. Kemudian menyusul Turki dalam posisi selanjutnya, dengan menegasi keabsahan perkawinan poligami. Sedangkan Irak, Malaysia, dan Indonesia pada prinsipnya berada dalam garis keberanjakan yang hampir sama, yakni membolehkan praktik poligami dengan persyaratan tertentu dan menempatkan peran Pengadilan dalam posisi menentukan. Meskipun demikian, secara hirarkis Irak agaknya sedikit berada di bawah Malaysia karena sikapnya yang tampak lebih longgar dibanding Malaysia dimana UU-nya memberi pengizinan terhadap poligami terhadap janda. Diikuti Indonesia, meskipun UU perkawinannya didasarkan pada asas monogami, namun hal tersebut tidak terefleksi pada kualitas dan kuantitas sanksinya yang dijatuhkan, sehingga Indonesia dapat dikatakan berada dalam posisi yang paling lunak. Dengan demikian, dari sudut komparasi diagonal dapat digambarkan tangga hirarkisnya adalah Tunisia, kemudian Turki, Malaysia, Irak, dan terakhir Indonesia.
Dari komparasi hukum di Dunia Barat diperoleh gambaran bahwa poligami mutlak dinyatakan sebagai suatu tindakan kriminal. Inggris dan Amerika Serikat tampak tidak memberi sedikit pun ruang bagi poligami, para pelaku dapat dijatuhi hukuman penjara dan malah di Amerika disertai dengan denda. Dibanding kedua negara tersebut, Perancis dan Jerman relatif lebih moderat. Meskipun Perancis melarang dan menolak keabsahan poligami yang berakibat hilangnya hak fasilitas sosial yang diberikan negara bagi warganya, namun perkawinan yang diadakan di negeri asal pasangan suami-istri dianggap memiliki kekuatan hukum menurut hukum Perancis selama ia tidak menyalahi tatanan publik Perancis. Sebagai konsekuensinya berbagai hak jaminan kesehatan dapat diberikan kepada seorang wanita yang didaftarkan oleh suaminya sebagai orang yang tidak mandiri, tanpa melihat apakah perkawinannya dianggap sah secara hukum. Sedangkan di Jerman, dalam masalah hukum keluarga dan hukum waris, penerapan berbagai norma hukum ditetapkan berdasarkan hukum nasional yang (dipandang) lebih baik dibanding hukum tempat berdomisili. Monogami adalah salah satu prinsip konstitusi Jerman yang terkemuka sehingga tidak mungkin memasukkan perkawinan poligami secara legal di Jerman. Sama halnya dengan Perancis, hukum Jerman memperlakukan perkawinan poligami menjadi sah secara hukum selama perkawinan itu masuk pada suatu negeri yang mengizinkan poligami. Pada kenyataannya, pengakuan terhadap perkawinan poligami memberi pengertian bahwa wanita muslim dapat memperoleh fasilitas jaminan keamanan sosial, begitu pula waris, hak asuh, dan biaya pemeliharaan anak. Di bagian lain, baik Perancis maupun Jerman tetap melarang reunifikasi keluarga poligami. Dari perbandingan sejumlah aturan hukum dan keputusan Pengadilan di negara-negara Barat tersebut, jika dibuat suatu hirarki dari sudut yang paling tegas hingga relatif lunak adalah Inggris, Amerika Serikat, Perancis, dan Jerman.
Dalam perspektif titik hubung antara Hukum Keluarga di Dunia Islam modern dan hukum yang berlaku di Dunia Barat, khususnya yang terkait dengan poligami, antara keduanya terdapat kemiripan—jika tidak dapat dikatakan malah dipengaruhi. Sejumlah hal itu adalah asas monogami, sanksi penjara dan denda, pelarangan dan penetapan poligami sebagai suatu tindak kriminal, dan status perkawinan poligami yang dinyatakan invalid (tidak sah). Fenomena Hukum Keluarga di Turki dan Tunisia sedikit banyak merepresentasikan hal tersebut.
H. Penutup
Masuknya komponen kriminalisasi dalam masalah poligami menjadi bagian inheren dalam reformasi Hukum Keluarga di negeri-negeri Muslim modern. Ia menjadi bagian dari implementasi semangat dasar Hukum Keluarga negara-negara Muslim modern yakni melindungi hak-hak dan meningkatkan derajat kaum perempuan. Pengaruh pemikiran yang digagas dan diprakarsai sejumlah tokoh cendikiawan Muslim modern dalam mereinterpretasi sumber ajaran/nas menjadi sisi lain bagaimana negara dapat memberlakukan suatu ketentuan keluar dari konsepsi khazanah klasik. Kolaborasi antara ijtihad yang mengusung prinsip maslahat dan siyasah syariah menjadi trend penting dalam pembangunan dan penerapan Hukum Islam di negeri Muslim modern.
Disadari bahwa kajian ini masih berada dalam lapisan apa yang digariskan dalam Undang-Undang di sejumlah negeri Muslim modern. Seberapa jauh UU tersebut berlaku efektif di lapangan dan bagaimana sesungguhnya yang terlaksana di masyarakat belum dapat terjawab oleh kajian ini. Memperhatikan kekurangan tersebut, studi tersendiri dan tajam otomatis menjadi hal yang patut untuk dipertimbangkan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Buku-buku:
‘Audah, ‘Abd al-Q±dir, at-Tasyr³‘ al-Jin±’³ al-Islam³ Muq±ranan bi al-Q±nn al-Wa«‘³, Mu’assat ar-Ris±lah, Beirut, 1997.
A. Jawad, Haifaa, The Right of Women in Islam: An Authentic Approach, St. Martin’s Press, Inc., New York, 1998.
Ab³ D±wud, Sunan Ab³ D±wud, juz I, D±r al-Fikr, 1994.
Amin, Qasim, Ta¥r³r al-Mar’ah, D±r al-Ma‘±rif, Tunisia, t.t.Anderson, James Norman Dalrymple (J.N.D), Islamic law in the Modern World, Edisi Indonesia: Hukum Islam di Dunia Moderen, terj. Machnun Husein, CV. Amarpress, Surabaya.
_______________ , “The Tunisian Law of Personal Status”, dalam International and Comparative Law Quarterly, 7 April 1985.
Anderson, Norman, Law Reform in the Muslim World, The Athlone Press, London, 1976.
Buxbaum, David C. (Ed.), Family Law and Customary Law in Asia: a Contemporary Legal Perspective, Martinus Nijhoff, The Haque, 1968
Dahlan, Abdul Aziz (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, jld. IV, Ichtiar Baru van Houve, Jakarta, 1997.
Esposito, John L. (Ed.), The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, Oxford University Press, Oxford, 1991.
Gupta, Kiran, “Polygamy Law Reform in Modern Status” dalam Islamic Law and Comparative Law, vol XVIII, No. 2 Thaun 1992.
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.
Ibn al-‘Arab³, A¥k±m al-Qur‘±n, Jld. I, D±r al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, Beirut, 1988,Ibn Rusyd, Bid±yat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqta¡id, juz II, D±r al-Fikr, Beirut, 1995.
al-Jaz³r³, ‘Abdurra¥man, Kit±b al-Fiqh ‘ala al-Ma©±hib al-Arba‘ah, jld. V, D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1999.
al-Ja¡¡±¡, A¥k±m al-Qur’±n, juz II, D±r al-Fir, Beirut, 1993.Kartanegara, Satochid, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1990.
Lindsey, Timothy (Ed.), Indonesia: Law and Society, The Federation Press, Leichhardt, 1999.
M. Hawes, Joseph & Elizabeth F. Shores (Ed.s), The Family in a America an Encyclopedia, vol. II, ABC-CLIO, Inc., Santa Barbara California, 2001.
Mahmood, Tahir, Family Law Reform in the Muslim World, N.M.Tripathi PVT, Ltd., Bombay, 1972.
______________ , Personal Law in Islamic Countries (History, Texs and Comparative Analysis), Academy of Law and Religion New Delhi, New Delhi, 1987.
Mallat, Chibli, & Jane Connors, Islamic Family Law, Graham & Trotman, London, 1993.
al-Maragi, A¥mad Mu¡taf±, Tafs³r al-Mar±g³, juz IV, Mustaf± al-B±b³ al-¦alab³ wa Aul±duh, 1974.
Morris, William, The Heritage Illustrated Dictionary of the English Language, Vol. II, Houghton Mifflin Campany, Boston, 1979.
Mudzhar, M. Atho’ dan Khairuddin Nasution (Ed.s), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, Ciputat Press, Jakarta, 2003.
Nasution, Khoiruddin, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, INIS, Leiden-Jakarta, 2002.
al-Qur¯b³, al-J±mi‘ li A¥k±m al-Qur’±n, juz V, t.p., Kairo, t.t. Rahman, Fazlur, Major Themes of the Qur’an, Edisi Indonesia: Tema-tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin, Penerbit Pustaka, Bandung, 1996.
Ri«±, Mu¥ammad Rasy³d, Tafs³r al-Man±r, juz IV, D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1999.
Shahrur, Muhammad, Na¥w U¡l Jad³dah li al-Fiqh al-Islam³, Edisi Indonesia: Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin, elSAQ Press, Yogyakarta, 2004.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. II, Lentera Hati, Jakarta, 2000.
Simon, Reeva S., Philip Mattar, Richard W. Bulliet (Ed.s), Encyclopedia of the Modern Middle East, vol.4, Simon & Schuster Macmillan, New York, 1996.
S. Cayne, Bernard (Ed.), The Encyclopedia Americana, Grolier Incorporated, New York, 1996 & 2001.
a¯-°ab±r³, Mu¥ammad Ibn Jar³r, J±mi‘ al-Bay±n ‘an Ta’w³l ²yi al-Qur’±n, juz III, D±r al-Fikr, Beirut, 1988.
Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Balai Pustaka, Jakarta, 2001.
al-W±¥id³, al-W±lib³, Asb±b an-Nuzl, D±r al-¦arm li at-Tur±£, Kairo, 1996.
Yeshua, Ilan (CEO), The New Encylopaedia Britannica, vol. 22, Edisi, XV, Encylopaedia Britannica, Inc., Chicago, 2003.
az-Zajj±j, Ma‘±n³ al-Qur’±n wa I’r±buhu, juz II, ²lam al-Kutub, Beirut, 1988.az-Zamakhsyar³, al-Kasysy±f ‘an Haq±iq Gaw±mi« at-tanz³l wa ‘Aun al-Aq±w³l f³ Wujh at-Ta’w³l (Tafsir al-Kasysy±f), juz I, D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1995.
az-Zuhail³, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz VII, D±r al-Fikr, Damaskus, 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar