Minggu, 27 Februari 2011

MONETER DAN PERBANKAN


Dengan meningkatnya gejolak eksternal, upaya untuk meningkatkan stabilitas ekonomi ditingkatkan. Dalam tahun 2000 dan 2001, kebijakan moneter diarahkan untuk menyerap kelebihan likuiditas guna mengurangi tekanan terhadap nilai tukar dan inflasi. Namun demikian, dengan meningkatnya suhu politik di dalam negeri dan meningkatnya kebutuhan devisa untuk pembayaran utang, rata-rata nilai tukar rupiah pada tahun 2000 dan tahun 2001 melemah berturut-turut menjadi Rp 8.405,-/US$ dan Rp 10.256,-/US$ dari Rp 7.848,-/US$ pada tahun 1999. 

Melemahnya nilai tukar rupiah dan meningkatnya laju pertumbuhan uang primer yang dalam tahun 2000 dan tahun 2001 mencapai 18,6 persen dan 17,9 persen telah mendorong kenaikan harga rata-rata barang dan jasa. Dalam tahun 2000 dan 2001, laju inflasi meningkat berturut-turut menjadi 9,3 persen dan 12,5 persen. Seiring dengan itu dalam tahun 2000 suku bunga SBI 1 bulan dan 3 bulan meningkat menjadi 14,5 persen dan 14,3 persen. Selanjutnya dalam tahun 2001, suku bunga SBI 1 dan 3 bulan meningkat lagi masing-masing menjadi 17,6 persen.

Dalam tahun 2002 kebijakan moneter tetap diarahkan untuk menyerap kelebihan likuiditas perbankan dengan tetap mempertimbangkan proses pemulihan ekonomi. Meningkatnya kepercayaan pelaku ekonomi dan menurunnya ekpektasi inflasi  memberi ruang gerak bagi penurunan suku bunga. Agar kelebihan likuiditas dapat dikurangi, penurunan suku bunga SBI dilakukan secara bertahap sehingga tekanan inflasi masih dalam kisaran yang ditargetkan. Sinyal penurunan suku bunga ini dilakukan melalui penurunan suku bunga SBI dan suku bunga Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FASBI). Arah kebijakan ini dilanjutkan tahun 2003.

Dengan arah kebijakan tersebut, dan seiring dengan membaiknya stabilitas politik pasca Sidang Istimewa Tahun 2001, memasuki tahun 2002 stabilitas ekonomi meningkat. Pada tahun 2002, rata-rata nilai tukar rupiah mencapai Rp 9.316,-/US$ atau menguat 9,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2003, penguatan rupiah terus berlanjut dan mencapai Rp 8.572,-/US$, atau menguat 8,0 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Menguatnya nilai tukar rupiah dan terkendalinya pertumbuhan uang primer yang dalam tahun 2002 dan 2003 berturut-turut tumbuh 9,1 persen dan 10,3 persen turut membantu mengendalikan kenaikan harga rata-rata barang dan jasa. Dalam tahun 2002 dan 2003, laju inflasi turun menjadi 10,0 persen dan 5,1 persen.

Terkendalinya laju inflasi selanjutnya memberi ruang gerak bagi penurunan suku bunga. Suku bunga rata-rata tertimbang SBI 1 bulan dan 3 bulan turun masing-masing menjadi 13,0 persen dan 13,1 persen pada bulan Desember 2002 dan kemudian menurun lagi masing-masing menjadi 8,3 persen pada bulan Desember 2003.

Hal ini diikuti pula oleh suku bunga deposito 1 bulan yang menurun dari 16,1 persen pada bulan Desember 2001, menjadi 12,8 persen pada bulan Desember 2002 dan 6,6 persen pada bulan Desember 2003. Sejalan dengan menurunnya suku bunga simpanan, rata-rata tertimbang suku bunga kredit modal kerja menurun dari 19,2 persen pada bulan Desember 2001 menjadi 18,3 persen pada bulan Desember 2002 dan 15,1 persen pada bulan Desember 2003; sedangkan suku bunga kredit investasi menurun dari 17,9 persen menjadi 17,8 persen dan 15,7 persen dalam periode yang sama.

Dalam pada itu, pelaksanaan program restrukturisasi perbankan telah meningkatkan kesehatan perbankan, yang tercermin dari membaiknya rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio) dan menurunnya kredit bermasalah. Pada akhir tahun 2003, CAR meningkat menjadi 19,3 persen; lebih baik dibandingkan dengan kondisi akhir tahun 2000 yaitu sebesar 12,5 persen. Dalam periode yang sama, kredit bermasalah (non-performing loan) menurun dari 18,8 persen menjadi 8,2 persen.

Dengan terjaganya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan, penghimpunan dana masyarakat oleh perbankan terus meningkat. Pada akhir Desember tahun 2003, dana masyarakat yang dihimpun oleh perbankan meningkat menjadi Rp 888,6 triliun atau naik rata-rata 8,4 persen per tahun dibandingkan akhir tahun 2000. Selanjutnya dengan prinsip kehati-hatian, fungsi intermediasi perbankan ditingkatkan. Pada akhir tahun 2003, jumlah dana yang disalurkan kepada masyarakat meningkat mencapai Rp 477,2 triliun atau naik rata-rata sebesar 14,2 persen per tahun dibandingkan akhir tahun 2000. Termasuk di dalamnya adalah kredit usaha menengah, kecil, dan mikro yang meningkat menjadi Rp 210,9 triliun atau naik rata-rata sebesar 32,9 persen per tahun dibandingkan akhir tahun 2001. Dengan meningkatnya dana yang disalurkan kepada masyarakat, loan to deposit ratio (LDR) meningkat dari 33,2 persen pada akhir tahun 2000 menjadi 43,2 persen pada akhir tahun 2003.

Membaiknya fungsi intermediasi perbankan sebagian didukung oleh kemajuan dalam restrukturisasi utang perusahaan. Berbagai langkah ditempuh untuk mempercepat proses restrukturisasi, antara lain melalui Prakarsa Jakarta serta Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Prakarsa Jakarta, sebagai lembaga mediasi antara debitor dan kreditor untuk melakukan restrukturisasi dan mediasi utang korporasi melalui berbagai bentuk, seperti pengalihan utang menjadi kepemilikan aset (debt to asset swap), sampai dengan pada masa berakhirnya pada tahun 2003 telah berhasil menyelesaikan 96 kasus utang senilai US$ 20,5 miliar. Restrukturisasi yang dilakukan BPPN, meskipun pada awalnya kurang berjalan seperti yang diharapkan, dengan terobosan yang menekankan pada perlunya diberikan fokus penyelesaian restrukturisasi khusus bagi aset-aset yang bersifat strategis, yaitu pinjaman yang memiliki dampak nasional yang cukup besar, namun dengan tetap memperhatikan keberlanjutan UKM, kinerjanya dapat diperbaiki. Pencapaian BPPN dalam penyelesaian aset kredit oleh Aset Manajemen Kredit (AMK) hingga tahun 2003 mencapai total penerimaan sebesar Rp 77,1 triliun dengan total pengalihan awal sebesar Rp 270,4 triliun.

Dalam bulan Mei dan Juni 2004, stabilitas rupiah di dalam negeri mengalami tekanan eksternal yang berasal dari ekspektasi yang berlebihan terhadap perubahan kebijakan moneter Amerika Serikat yang pada gilirannya memberi tekanan pada nilai tukar mata uang dunia termasuk rupiah. Dalam upaya menjaga stabilitas nilai tukar, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Stabilisasi Rupiah yang mencakup 3 (tiga) aspek, yaitu: (1) kebijakan pengendalian likuiditas rupiah untuk menyerap ekses likuiditas perbankan, melalui: (a) pengaktifan kembali Fasilitas Simpanan BI (FASBI) jangka waktu 7 hari sejak 7 Juni 2004; (b) penyempurnaan ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) dengan merubah GWM Rupiah bank umum yang semula ditetapkan 5 persen menjadi: (i) bank dengan total Dana Pihak Ketiga (DPK) lebih dari Rp 50 triliun dikenakan tambahan 3 persen sehingga menjadi 8 persen; (ii) bank dengan DPK Rp 10 – Rp 50 triliun dikenakan tambahan 2 persen sehingga menjadi 7 persen; (iii) bank dengan DPK Rp 1 – Rp 10 triliun dikenakan tambahan 1 persen sehingga menjadi 6 persen; serta (iv) bank dengan DPK kurang dari Rp 1 triliun tidak dikenakan tambahan sehingga tetap 5 persen; (2) penyempurnaan ketentuan kehati-hatian perbankan berkaitan dengan ketentuan Posisi Devisa Neto (PDN); serta (3) peningkatan pemantauan permintaan valas.

Dengan kepastian bahwa perubahan kebijakan moneter Bank Sentral AS dilakukan secara bertahap serta ditempuhnya langkah-langkah kebijakan moneter di dalam negeri untuk meningkatkan stabilitas rupiah, nilai tukar rupiah menguat kembali menjadi sekitar Rp 9.000,-/US$. Dalam semester I/2004, laju inflasi terkendali sebesar 3,3 persen dan suku bunga rata-rata tertimbang SBI 1 bulan dan 3 bulan berturut-turut  sebesar 7,34 persen dan 7,25 persen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar