Hidup damai dalam rumah tangga merupakan impian yang mesti diwujudkan oleh suami isteri yang sedang menjalani hidup bersama dalam ikatan yang sah menurut hukum positif dan agama. Upaya menghindari sejauh mungkin terjadinya kekerasan dalam rumah tangga secara fisik maupun psikis, seperti rasa kurang aman tinggal di rumah sendiri bagi isteri, merupakan suatu hal yang mesti diupayakan.
Setidaknya ada tiga bentuk kekerasan yang biasa terjadi daam rumah tangga: 1) kekerasan sikap, bersikap merendahkan, 2) kekerasan bahasa, memaki dan intimidasi,dan kekerasan fisik, memukul atau memaksakan kehendak. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut sering kali terjadi pada seorang isteri dari pada suami. Salah satunya yang kerap kali terjadi adalah kekerasan kehendak seksual. Dalam lembaga perkawinan, hubungan seksual merupakan suatu aktifitas yang sah yang dilakukan oleh suami isteri dalam rangka tiga hal, yakni melangsungkan keturunan, pemenuhan hasrat seksualitas dan bermakna ibadah.
Berkaitan dengan problem kekerasan kehendak seksual, marital rape adalah suatu bentuk pemaksaan (perkosaan) hubungan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap isteri, atau sebaliknya isteri kepada suami. Tetapi dalam realitanya, justru yang sering kali terjadi adalah tindak kekerasan suami terhadap isteri. Oleh karena itu, penulis mencoba memfokuskan kepada tindak kekerasan seksual suami terhadap isteri.
Hal ini bisa terjadi pada sebuah rumah tangga ketika seorang suami melaksanakan kehendaknya pada isteri. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut disebut wife abuse (kesewenangan terhadap isteri) yang berarti penggunaan kekerasan fisik yang dilakukan suami terhadap isterinya. Marital rape sesungguhnya merupakan salah satu bentuk dari wife abuse, yakni seorang suami menginginkan hubungan seksual dengan tidak mempedulikan kondisi isteri.
Secara faktual menunjukkan, bahwa kekerasan seksual terhadap isteri termasuk di dalamnya kekrasan seksual, merupakan suatu fenomena yang terkadang dianggap lazim di lingkkungan masyarakat. Anggapan lazim ini tentunya tidak terlepas dari nilai kontruk sosial yang berkembang di tengah masyarakat bahwa suami adalah kepala keluarga dan memiliki otoritas penuh terhadap anggota keluara termasuk isteri.
Kasus marital rape seringkali terjadi di tengah-tengah masyarakat. Justru yang menjadi persoalan selanjutnya adalah seberapa jauh keberanian seseorang isteri melaporkan kejadian tersebut sebagai suatu tindak pidana. Sejauh ini problem tersebut masih merupakan masalah intern yang dianggap tabu untuk diceritakan kepada orang lain, apalagi dalam bentuk delik aduan. Meskipun hal ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak-hak reproduksi perempuan dapat diproses secara hukum bila memang ada pengaduan dari “istri yang diperkosa suami”.
Berkaitan dengan paparan diatas penulis menempatkan al-Qur’an sebagai sudut pandang terhadap kasus marital rape dalam perkawinan, dengan meletakkan filsafat sebagai tinjauannya. Dalam perkembangan bahasanya, tentu saja tidak terlepas dari korelasi antar ayat satu dengan ayat yang lain (tematik) dan beberapa pengetahuan Islam lainnya terkait dengan kajian dimaksud.
Penelitian ini mencoba menjawab persoalan tentang tindak perkosaan atau kekerasan suami terhadap istri serta bagaimana pandangan al-Qur’an terhadap marital rape itu sendiri. Adapun yang menjadi tujuannya adalah memperoleh pemetaan secara deskriptif mengenai akar-akar terjadinya kasus perkosaan atau kekerasan suami terhadap istri dan memahami al-Qur’an sebagi sudut pandang di dalam melihat marital rape dalam perkawinan. Tulisan ini bertujuan untuk membangun kesadaran gender, khususnya dalam memahami penafsiran ayat-ayat al-Qur’an sehingga bisa meminimalisir terjadinya kekerasan suami terhadap istri, disamping menambah khasanah intelektual keislaman, terutama dalam mewujudkan kesetaraan gender dalam Islam.
Salah satu contoh dari teks al-Qur’an yang berkaitan dengan hubungan seksualitas suami istri yang sering disalah fahami adalah surat al-Baqarah ayat 223 sebagai berikut:
Nä.ät!$|¡ÎS Ó^öym öNä3©9 (#qè?ù'sù öNä3rOöym 4¯Tr& ÷Läê÷¥Ï© ( (#qãBÏds%ur ö/ä3Å¡àÿRL{ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur Nà6¯Rr& çnqà)»n=B 3 ÌÏe±o0ur úüÏZÏB÷sßJø9$#
Artinya: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman”.[1]
Contoh teks keagamaan lainnya sebagaimana terdapat juga dalam hadits riwayat Bukhari Muslim, “jika laki-laki mengajaknya ke tempat tidur kemudian istri menolak dan suami menjadi marah karenanya, maka si istri akan dilaknat oleh malaikat sampai pagi”.[2] Selain itu dalam hadits yang lain disebutkan: “jika suaminya mengajak ke tempat tidur, mak hendaklah ia memnuhinya, meski sedang didapur”.[3]
Kutipan nash/teks keagamaan tersebut seakan-akan menutup nash/ teks lain baik al-Qur’an maupun hadits yang mengaagungkan perempuan dari berbagai sisi. Bila dicermati, ayat-ayat lain yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih tinggi, jauh lebih banyak daripada nash-nash yang dianggap misoginis tadi. Selain itu perlu ditelaah lagi isi dan makna nash tersebut secara sosio-historis atau historis-kritis hingga bisa diketahui apa yang melatar belakangi munculya nash tersebut. Misalnya terminologi harsulakum yang diidonesiakan menjadi “tanah tempat kamu bercocok taman”, bisa direkonstruksi pemahamnnya menjadi lebih baik lagi. Seperti, seorang patani yang baik tidak akan menabur benih yang berkualitas rendah dengan cara-cara yang rendah pula ketika sedang bercocok tanam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar