Senin, 28 Februari 2011

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tafsir

A.    Pendahuluan
Kehadiran al-Qur’an sebagai sumber utama hukum dalam agama Islam telah menjadi konsensus umat Islam. Sebagai mu’jizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW, ia diturunkan sebagai pelita dan petunjuk bagi manusia dalam mengahadapi persoalan kehidupannya menuju kebahagiaan di masa kini maupun mendatang. Dari ayat-ayatnya terkandung dialek langsung dengan pembacanya agar menuntut, memperhatian, merenung dan menekuni kandungannya kemudian menarik sebuah sebagai pelajaran untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu dengan melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi segala larangan di dalamnya.[1]
Hakikat al-Qur’an sebagai kalmullah akan tetap terjaga dengan baik keutuhannya, akan tetapi tafsir al-Qur’an sebagi hasil kajian manusia akan ditentukan oleh motivasi dan kualitas mufassir. Sejarah mencatat, terutama sepeninggal para sahabat, ketika arena percaturan kehidupan umat Islam semakin luas persoalannya semakin kompleks, maka muncullah para mufassir dengan menggunakan berbagai macam corak dan ragamnya yang berbeda-beda. Bahkan sejak itu pula terdapat mufassir yang menafsirkan al-Qur’an dengan cara sedemikian rupa untuk melayani aliran atau golongan sendiri. Muncul tafsir yang hanya menitik beratkan disiplin ilmu tertentu, seperti disiplin ilmu gramatikal, fiqh, ilmu kalam, tasawuf dan lain sebagainya. Sehingga yang disebut dengan tafsir hampir keluar dari batas pengertian itu sendiri, ia lebih mirip dengan karya disiplin ilmu sendiri dari pada tafsirnya. Padahal seharusnya seperti ilmu gramatikal itu dijadikan hanya sebagai sarana bantu untuk memperoleh penafsiran dengan baik.[2]
Memang banyak kitab tafsir yang jelas petunjuknya, terang maknanya, sehingga mudah dimengerti oleh mereka yang mempelajari ilmu faslahah (ilmu kelancaran bicara). Ada pula tafsir yang tidak mudah dipahami kandungan maknanya oleh sembarang orang, kecuali oleh ulama yang telah benar-benar rasikh (luas dan dalam) ilmu pengetahuannya. Juga ada bentuk tafsir yang wajib diketahui oleh orang, ada pula yang tidak mudah dibaca kerena termasuk kitab yang membahas perkara-perkara ghaib, dan hal-hal yang ilmu tentangnya hanya menjadi milik Allah saja.[3]
Dengan berbagai macam tafsir yang ada, Maka makalah ini mempertanyakan faktor apakah yang mempengaruhi dalam tafsir tersebut? Sehingga bisa mengetahui hal-hal yang berkenaan dengan tafsir di sekitar kita.

B.     Pembahasan
Seseorang yang ingin memahami suatu ilmu, ia harus mempelajari ilmu itu terlebih dahulu sedetil-detilnya, samapi ia mencapai  tingkat ahli dalam disiplin ilmu tersebut. Seorang penafsir al-Qur’an menghadapi tugas suci dan ilmiah yang sangat berat, karena materi yang ditafsirkannya adalah kalamullah. Oleh karena itu wajar bila terdapat sebagian ulama lama yang menghindari menafsirkan al-Qur’an, seperti al-Qashim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq, Salim bin Abdullah bin Umar ibn Khattab, Ubaidah Qais al-Kufi dan Said bin Jubair.[4]
Goldziher dalam karyanya Mazahib at-Tafsir al-Islami, sebagimana dijelaskan asy-Syirbashi menyebutkan : “Hingga permulaan abad ke dua hijriyah kita menemukan kenyataan bahwa pekerjaan menafsirkan al-Qur’an dipandang sebagai hal yang luar biasa dan menakutkan.[5]
Kehawatiran mereka itu sebenarnya merupakan sikap kehati-hatian dan suatu rasa tanggung jawab terhadap kitab sucinya dari penyelewengan-penyelewengan yang tidak diinginkan. Terbatas pada hal-hal yang mereka memang tidak tahu betul tafsirnya, atau riwayat penafsiran yang mereka sendiri belum pernah menerimanya.
Disamping itu, untuk menghindari penyelewengan-penyelewengan al-Qur’an dalam rangka menjawab tuntutan-tuntutan al-Qur’an itu sendiri sebagai kitab hidup yang tidak kenal perubahan waktu maupun tempat, maka sebagian ulama lainnya dengan sungguh-sungguh berusaha dan menganjurkan untuk memahami dan menafsirkan al-Qur’an sedapat mungkin. Namun mereka mengajukan persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an.
Orang orang yang bermaksud menafsirkan al-Qur’an harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Memiliki i’tikad yang benar dan mematuhi segala ajaran agama
2.      Mempunyai tujuan yang benar
3.      Seorang mufassir seyogyanya hanya berpegang kepada dalil naqal dari Nabi, sahabat, dan orang-orang yang hidup sezaman dengan mereka, serta harus menghindari segala sesuatu yang tergolong bid’ah
4.      Seorang mufassir harus menguasai ilmu-ilmu,  Imam as-Suyuthi mengharuskan seseorang yang akan menafsirkan al-Qur’an untuk terlebih dahulu memiliki persyaratan :[6]
1)      Pengetahuan Bahasa
Dengan ilmu ini dapat diketahui penjelasan (syarah) atas kata-kata (mufradat) dalam lafaz-lafaz menurut konteksnya.
2)      Ilmu Nahwu (tata bahasa)
Makna suatu kata dalam bahasa arab itu berubah-ubah dan berbeda-beda, menurut i’rab (fungsi kata)nya, maka penting untuk di mengerti dan diperhatikan.
3)      Ilmu Tasrif atau Sharf  
Dengan ilmu ini akan diketahui bentuk asal dari sebuah kata dan juga pola kata kerja (shighat, verb pattern).
4)      Ilmu Isytiqaq (derivasi kata, etimologi)
Sebuah kalimat isim bila berasal dari dua kata yangberbeda akan berbeda pula maknanya, sesuai dengan perbedaan asal kata-katanya.
5)      Ma’ani (retorika)
Dengan ilmu ini akan diketahui keistimewaan-keistimewaan suatu susunan kalimat, ditinjau dari segi makna yang dihasilkannya.
6)      Ilmu Bayan (kejelasan berbicara)
Dengan ilmu ini akan diketahui keistimewaan-keistimewaan suatu susunan kalimat ditinjau dari segi perbedaan-perbedaan maksudnya.
7)      Ilmu Badi’ (efektifitas bicara)
Dengan ilmu ini akan diketahui keistimewaan-keistimewaan susunan kalimat ditinjau dari segi susunan kata yang diperindah.
8)      Ilmu Qira’ah (pembacaan al-Qur’an)
Dengan ilmu ini akan dapat dikatakan cara membaca lafaz-lafaz al-Qur’anuk karim.
9)      Ilmu Ushuluddin (pokok-pokok agama)
Dengan ilmu ini mufassir dapat mengetahui tentang apa yang wajib, mustahil dan jaiz (mungkin) bagi Allah, serta kesucian sifat-Nya.
10)  Ilmu Ushul Fiqh
Ilmu ini mempelajari cara pengambilan dalil hukum-hukum dan istinbath (perumusan hukum).
11)  Ilmu Asbabul an-Nuzul
Dengan mengetahui sebab-sebab nuzulnya ayat, akan dapat diketahui maksud yang dikehendaki oleh ayat-ayat al-Qur’an.
12)  Ilmu Nasikh Mansukh
Ilmu ini untuk mengetahui ayat-ayat yang muhkam daripada ayat-ayat lainnya, yang sangat penting diketahui oleh mufassir.
13)  Ilmu Fiqh
Di dalamnya dapat diketahui pandangan-pandangan para ahli hukum (fuqaha’), dan diketahui pula cara mereka berdalil dengan ayat-ayat hukum, siapa diantara mereka yang berpegang pada ayat, siapa pula siapa pula yang tidak.
14)  Ilmu Hadits
Agar mengetahui kategori setiap hadits, apakah termasuk sahih, dho’if, atau maudhu’.
15)  Ilmu Mauhibah
Ilmu yang dianugerahkan Allah kepada siapa saja yang beramal dengan ilmu yang dimilikinya, sebagimana disebutkan dalam sebuah hadits nabi SAW:
مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ اَوْرَثَهُ الله ُعِلْمَ مَالمَ ْيَعْلَمْ
Artinya:
“Barangsiapa yang beramal dengan ilmu yang dimilikinya niscaya Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang sebelumnya tidak pernah diketahuinya.”

Hampir rata-rata ulama menentukan persyaratan-persyaratan tersebut, hanya saja gaya dan cara penyampaiannya yang berbeda-beda. Dan bahkan masih ada yang menambahkan persyaratan lagi, seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha mensyaratkan hendaknya seseorang yang menafsirkan al-Qur’an mengetahui ilmu-ilmu sejarah manusia, biografi dan ilmu yang berkaitan dengan alam jagad raya.[7]
Nampaknya persyaratan-persyaratan tersebut jauh untuk bisa diikuti oleh orang di masa kini maupun yang akan datang. Tidak usah semuanya, sebagian saja dari persyaratan-persyaratan tersebut jika terpenuhi sudah lumayan. Di sinilah salah satu problemnya, di masa lajunya ilmu pengetahuan dengan pesat dan teknologi canggih, di mana manusia membutuhkan bimbingan dan petunjuk dari al-Qur’an sebagai pegangan hidup, sementara kemampuan yang dimiliki mufassir kurang memungkinkan, sedang tafsir-tafsir lama kurang memadahi lagi. Oleh karena itu, dalam kondisi yang demikian bagi orang yang jauh dari hidayah Allah SWT akan bisa muncul dua kemungkinan : pertama, menganggap al-Qur’an sudah tidak bernilai lagi atau dengan bahasa lain tidak relevan lagi, dan yang kedua kemungkinan konsep-konsep dan teori penemuan yang dianggap ilmiah namun masih mentah. Tentu hal semacam ini tidak boleh dibiarkan berlalu, karena disamping akan menyesatkan dirinya akan pula menyesatkan para pembaca maupun pendengarnya.[8]
Kebutuhan yang mendesak mengharuskan untuk tetap berpacu dan mencoba memenuhi syarat-syarat yang telah digariskan para ulama tersebut, paling tidak mengenali ilmu-ilmu al-Qur’an secara global dan bahasa arab. Sebab bukankah jika berpangku tangan lantaran tidak bisa memenuhi syarat-syarat tersebut sama halnya melarang seseorang untuk memahami al-Qur’an ?. Padahal walaupun syarat-syarat itu bisa terpenuhi semua, belum tentu seseorang akan sampai pada puncak pemahaman yang sempurna. Berkenaan dengan ini az-Zamakhsyari menyatakan:
ثُمَّ اِنَّ اِمْلاَءِ الْعُلُوْمِ بِمَا يَغْمُرُ اْلقَرَائِحَ وَاَنْهَضَهاَ بِمَا يَبْهَرُ اْلاَلْبَابَ اْلقَوَارِحَ مِنْ غَرَائِبَ نَكَتَ يَلْطُفُ مَْسَلَكُهَا وَمُسْتَوْدَعاتُ اَسْرَارِيَدُقُّ سَلْكُهَا عِلْمَ التَّفْسِيْر الَّذِى لاَيَتِمْ لِتَعَاطِيْهِ واجَاَلِة النَّظَرِفِيْهِ كُلُّ ذِىْ عِلْمٍ[9]
Artinya:
“Kendatipun manusia telah menguasai berbagai jenis ilmu pengetahuan dan mutu ilmu yang dimilikinya demikian tinggi hingga sanggup menebus berbagai rahasia dan keanehan, namun untuk memenuhi kebutuhan al-Qur’an, ilmu-ilmu tersebut belum memenuhi.”
Dan karena itu pula, sehingga Muhammad Abduh telah membagi tafsir menjadi dua tingkatan, tingkat tinggi dan tingkat rendah. Tafsir mempunyai tingkatan tinggi jika terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Mengetahui hakikat lafaz secara mufradat yang dikemukan dalam al-Qur’an berdasarkan penggunaan ahli bahasa.
2.      Mengetahui uslub yang tinggi. Dan yang demikian akan dapat dicapai dengan membiasakan mempergunakan kata-kata yang indah dan baik dengan benar-benar mengerti rahasia keindahannya.
3.      Mengetahui ilmu antropologi, serta mengetahui hukum alam dalam memperkembangkan bangsa dan aneka ragam situasinya, baik segi kekuatan atau kelemahannya, maju dan mundurnya serta iman dan kufurnya.
4.      Mengetahui segi petunjuk al-Qur’an untuk kemanusiaan dan mengetahui keadaan orang-orang arab pada masa jahiliyah dari segi kebiasaan dan kesesatannya.
5.      Mengetahui perilaku Nabi SAW dan para sahabatnya serta mengetahui segala sesuatu yang ada padanya, baik berupa ilmu maupun amal, urusan agama maupun dunia.
Tafsir yang kedua atau tingkat yang rendah, yaitu : tafsir yang mendorong hati seseorang untuk mencintai kebesaran Allah dan kesucian-Nya, memalingkan jiwa dari kejelekan serta mendorong untuk kebaikan. Tingkat ini lebihmudah bagi semua orang.[10]

C.    Kesimpulan
Tafsir terus berkembang dengan coraknya yang beraneka ragam sesuai dengan keaneragaman latar belakang pendidikan mufassir dalam menafsirkan ayat Allah. Jadi faktor yang mempengaruhi tafsir adalah tergantung dari keilmuan mufassir dengan berbagai aspek materi, tujuan dan tingkat kebutuhan terhadapnya.


[1] Ahmad Musthofa Hadna, Problematika Menafsirkan al-Qur’an, Toha Putra, Semarang 1993. hlm. 9.
[2] Ibid., hlm. 9.
[3] Mahmud Basuni Fawdah, At-Tafsir Wa Manahijuh, Penerjemah Mochtar Zoeni dan Abdul Qodir Hamid, Pustaka, Bandung, 1987, hlm. 20.
[4] Ahmad Musthofa Hadna, Problematika, hlm. 35.
[5] Ahmad asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur’an, Terjemahan Tim Pustaka Firdaus, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1985, hlm. 15.
[6] Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Dar al-Fikr, Beirut, 1399 H., Juz I. Hlm. 180-181.
[7] Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Dar al-Manar, Mesir, 1337 H., Juz I. hlm. 22-23.
[8] Ahmad Musthofa Hadna, Problematika, hlm. 38.
[9] Mahmud bin Umar az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq at-Tanzil wa ‘uyun al-Aqawil ‘an Wujuh at-Ta’wil, Afatab, Tahiran, tth. Juz I, hlm. 19.
[10] Muhammad rasyid ridha, hlm. 21

ISLAM MEMBATASI POLIGAMI DENGAN EMPAT ISTRI
MENGGANTI POLIGAMI DILARANG
Oleh : Mahmud Huda

Pendahuluan
Islam adalah agama fitrah yang sesuai berbagai keperluan dan kehendak manusia dalam hidup berpasangan. Berasaskan kepada keadaan inilah Islam membenarkan poligami yang merupakan amalan masyarakat turun temurun sejak sebelum kedatangan Islam lagi. Untuk mengamalkan poligami secara yang lebih adil dan dapat menjamin kesejahteraan hidup ummah seluruhnya, Islam telah menetapkan syarat-syarat tertentu yang menghadirkan amalan yang bebas sebelum ini dan mengambil jalan pertengahan yang lebih wajar. Syariat Islam menetapkan bahwa seorang lelaki boleh kawin dengan lebih dari seorang perempuan tetapi tidak melebihi empat orang. Asas pensyariatan yang menjadi dalil utama di dalam keharusan berpoligami ialah firman Allah SWT dalam surah an-Nisa’, ayat 3 :

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[1], Maka (kawinilah) seorang saja[2], atau tangan kananmu (budak perempuan atau tawanan perang). yang demikian itu adalah lebih dekat kepada perbuatan yang tidak aniaya”.[3]
Poligami bukanlah suatu prinsip yang wajib dilaksanakan di dalam syariah Islam sehingga boleh menyebabkan berdosa jika tidak mengamalkannya. Poligami hanya merupakan perkara harus dan satu rukhsah (keringanan) dalam keadaan darurat. Jelasnya di sini walaupun bahasa yang digunakan di dalam ayat di atas berunsur perintah, ia bukanlah membawa kepada makna wajib dilaksanakan. Bahkan jika diamati ayat tersebut  membawa kepada jalan tengah dalam suatu permasalahan dan haram hukumnya jika suami yang berpoligami tidak berupaya berlaku adil dan mengakibatkan penganiayaan terhadap isteri yang dikawini.

Dekonstruksi Poligami
Poligami telah menjadi salah satu isu pentinng dalam pembaruan Islam dan gerakan feminisme. Locus interpretasi dan reinterpretasinya adalah “ayat poligami” berikut:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau tangan kananmu (budak perempuan atau tawanan perang). yang demikian itu adalah lebih dekat kepada perbuatan yang tidak aniaya.[4]
Pada akhir abad ke-19, Muhammad Abduh beragumentasi bahwa poligami adalah tradisi tua yang tidak berakhir ketika Islam muncul di Semenanjung Arab pada abad ketujuh. Perempuan diperlakukan sebagai ‘sesuatu antara manusia dan hewan. Menurut Abduh, terdapat penghinaan yang kuat terhadap perempuan dalam lembaga poligami. Islam datang untuk memperdayakan perempuan dan untuk memberikan hak dan keadilan kepada mereka. Sementara dalam tradisi pra-Islam poligami tidaklah dibatasi, al-Qur’an datang memberi batasan maksimum empat istri dengan syarat bahwa sang suami dapat berlaku adil kendatipun dia ingin sekali melakukannya[5]. Abduh berargumen bahwa semangat pernikahan dalam al-Qur’an adalah monogami (satu istri titik). Memiliki lebih dari seorang istri diperkenankan hanya dengan satu syarat, yakni bahwa istri pertama terbukti tidak bisa memberikan keturunan. Itu disebabkan karena tujuan pernikahan dalam Islam, menurut Abduh, adalah untuk mempunyai keturunan.[6]
Pendapat lain dikemukakan oleh Fazlur Rahman berdasarkan atas distingsi antara aspek legal dan cita moral al-Qur’an. Dia yakin bahwa hanya melalui distingsi ini kaum muslim tidak hanya dapat memahami: orientasi yang sejati (true orientation) al-Qur’an, namun juga dapat memecahkan problem-problem kompleks tertentu yang berkaitan dengan pembaruan perempuan.[7] Rahman sampai pada kesimpulan bahwa:
Yang benar tampaknya bahwa diizinkannya poligami adalah pada taraf legal, sementara sanksi-sanksi yang diberikan kepadanya pada hakikatnya adalah sebuah cita-cita moral yang mana masyarakat diharapkan bergerak ke arahnya, karena tidaklah mungkin untuk menghapuskan poligami secara legal sekaligus.[8]

Dalam mendiskusikan ayat poligami diatas, berkaitan dengan apakah itu merupakan sesuatu yang ekstrinsik menghubungkan manusia dengan yang lainnya ataukah sesuatu yang intrinsik yang mengekspresikan batin dikomunikasikan dengan batin manusia lainnya.[9] Maka terdapat tiga langkah, pertama, konteks teks ini sendiri. Dengan mengkonstraskan absennya praktek hukum memiliki ‘yang dimiliki tangan kananmu’ (budak perempuan atau tawanan perang) sebagai ‘selir’ dalam wacana Islamis pada satu sisi, dan untuk mempertahankan poligami: “maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu sukai: dua, tiga, atau empat”, pada sisi lain. Ada sesuatu yang hilang, yakni kesadaran, yakni kesadaran akan historisitas teks keagamaan, bahwa ia adalah teks linguistik dan bahwa bahasa adalah sebuah produk sosial dan kultural. Sebagaimana Muhammad Abduh, bahwa izin bagi seorang laki-laki untuk menikah dengan hingga empat istri haruslah diletakkan dalam konteks hubungan antara manusia, khususnya hubungan antara laki-laki dan perempuan sebelum kedatangan Islam. Dalam periode pra-Islam, di mana hukum kesukuan sangat dominan, poligami tidaklah dibatasi. Dalam konteks ini, izin untuk memiliki istri sampai empat haruslah dipahami sebagai awal dari sebuah upaya pembebasan, bahwa pembahasan ini haruslah dilihat sebagai perubahan ke arah pembebasan perempuan dari dominasi laki-laki. Dengan demikian, dalam konteks ini tetaplah dalam semangat al-Qur’an jika kaum muslim pada saat ini mendukung bahwa seorang laki-laki cukup menikahi satu orang istri. Abu Zayd mengatakan poligami Nabi, sebagai seorang pemimpin, merupakan praktek yang umum bagi seorang pemimpin pada zaman pra-Islam, yang belum dihapus ketika datangnya Islam, bahkan oleh Nabi sendiri.[10]
Langkah kedua adalah meletakkan teks dalam konteks al-Qur’an secara keseluruhan. Diharap bahwa “yang tak terkatakan” atau yang implisit dapat diungkap dengan menggunakan hermeneutika bahasa dan hermeneutik phenomenologik.[11] Dalam teks al-Qur’an sendiri juga menyarankan untuk hanya memiliki seorang istri jika suami takut tidak bisa berbuat adil: “jika kamu takut tidak bisa berbuat adil (terhadap mereka), maka seorang saja”. Demikian pula teks lain mengatakan bahwa sikap adil terhadap para istri adalah tidak mungkin dilakukan: “kamu tidak akan bisa berlaku adil di antara istri-istri kamu meskipun kamu sangat berkeinginan melakukannya”. Analisis linguistik menyarankan bahwa sikap adil di antara para istri tidaklah mungkini dilakukan. Penggunaan klausa kondisional (pengandaian) dan penggunaan partikel kondisional law (jika) menandakan penegasian terhadap jawab al-syarth (konklusi dari klausa kondisional) disebabkan karena adanya penegasian terhadap (syarth) itu. Yang paling penting diperhatikan adalah penggunaan partikel lan (tidak akan pernah) yang berfungsi sebagai koroborasi (ta’yid) di awal kalimat, ini menunjukkan bahwa ‘dapat bertindak adil tidak akan pernah terjadi’. Menurut Abu Zayd, terdapat negasi ganda: Pertama, nagasi total terhadap kemungkinan bertindak adil terhadap dua istri atau lebih, dan kedua, negasi terhadap kemungkinan keinginan untuk berbuat adil terhadap mereka.[12] Dengan distingsi ‘Adil Dhahir tentang mabda’ (prinsip), qa’idah (kaidah), hukm (hukum). Keadilan, kebebasan, hak untuk hidup, dan kebahagiaan, termasuk dalam kategori mabda’. Qa’idah adalah derivasi dari mabda’ itu dan tidak boleh bertentangan dengannya. Contohnya: “jangan mencuri, jangan berzina, jangan berbuat kesaksian palsu, jangan mengganggu orang lain”, adalah termasuk mabda’.
Dalam konteks jurisprudensi Islam, tujuan universal syari’at (maqashid al-kulliyah li al-syari’ah) adalah apa yang diusulkan oleh asy-Syathibi, yakni perlindungan terhadap agama, harta, akal, martabat, dan kehidupan. Dengan tiga prinsip umum yang lebih universal. Pertama, rasionalisme (‘alaniyyah) sebagaimana dilawankan dengan jahiliyyah, dalam pengertian mentalitas kesukuan dan tindakan emosional. Kedua, kebebasan (hurriyah), sebagaimana dilawankan dengan segala bentuk perbudakan (ubudiyyah). Ketiga, keadilan (‘adalah) sebagaimana dilawankan dengan eksploitasi manusia (zhulm).
Dalam konteks poligami, keadilan adalah mabda’ (prinsip) sementara untuk mewakili sampai empat istri adalah hukm. Hukm tidak menjadi qa’idah apalagi menjadi mabda’. Hukm adalah peristiwa spesifik dan relatif, tergantung kepada perubahan kondisi yang melingkupinya. Ketika terdapat kontradiksi antar mabda’ dan hukm, yang terakhir ini haruslah dikalahkan untuk mempertahankan yang pertama. Al-Qur’an tidak menetapkan untuk mempertahankan yang pertama. Al-Qur’an tidaklah menetapkan hukum (tasyri’) terkait dengan masalah poligami, namun memang mengungkapkan sebuah limitasi terhadap poligami. Dalam Al-Qur’an melarang poligami ‘secara tersamar’ dengan kata lain limitasi itu sesungguhnya mengindikasikan pelarangan (pengharaman) secara tersamar (al-tahrim al-dhimni).
Pada langkah ketiga, berdasarkan atas kedua langkah di atas, yaitu sebuah pembaruan hukum Islam. Dalam hukum Islam klasik, poligami diklasifikasikan di bawah bab “hal-hal yang diperbolehkan” (al-mubahat). Term “pembolehan” (ibahah) tidaklah sesuai karena pembolehan terkait dengan hal yang tidak dibicarakan oleh teks, sementara pembolehan poligami dalam al-Qur’an pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari poligami yang tidak terbatas yang telah dipraktekkan sebelum datangnya Islam. Pembatasan tidak berarti pembolehan. Namun demikian, poligami tidak masuk dalam bab “palarangan (pengharaman) terhadap hal yang diperbolehkan”. Berdasarkan atas distingsi ‘Adil Dhahir di atas bahwa poligami haruslah diperlakukan sebagai hukum, yang tidak dapat menjadi sebuah kaidah, apalagi prinsip. Keadilanlah yang merupakan prinsip yang harus dipertahankan dalam level kaidah dan hukum. Oleh karena itu, ada konklusi yang “mengambang” tentang argumentasinya tentang “pelarangan secara tersamar” di atas, dan poligami sebagai hukum yang tidak boleh merusak kaidah dan prinsip, dapat dijelaskan bahwa dalam argumen terakhirnya poligami haruslah dilarang. Untuk itu, perhatikan diagram di bawah ini.

Interpretasi tentang poligami



 



















Kesimpulan
Wacana al-Qur’an tentang poligami mempunyai lavel makna ketiga, dimana pemahaman haruslah melampaui makna historisnya dengan menguak signifikansi masa kininya. Bahkan, mampu menguak dimensi “yang tak terkatakan” dari suatu pesan. Akhirnya, penggunaan distingsi ‘Adil Dhahir tentang prinsip (mabda’), kaidah (qa’idah), dan hukum (hukm) menarik untuk dicermati. Dengan penggunaan distingsi ini, pandangan bahwa poligami adalah dilarang dapat dengan mudah dan sistematis dipahami.
Daftar Pustaka


Abduh, Muhammad, Al-A’mal al-Kamilah, Jilid II. Beirut dan Kairo: Dar al-Syuruq, 1993/1414.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra, 1999.
Muhdjir, Noeng, Filsafat Ilmu Kualitatif dan Kuantitatif untuk Pengembangan Ilmu dan Penelitian, edisi III,Yogyakarta, Rake Sarasin, 2006.
Rahman, Fazlur, Major Themes of the Qur’an, Chicago: Bibliothece, 1980.
Zayd, Nasr Abu, Dawa’ir al-Khawf: Qira’ah fi Khithab al-Mar’ah, al-markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1999.


[1] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.

[2] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.

[3] Q.S. An-Nisa’ (4) : 3.

[4] Q.S. An-Nisa’ (4) : 3.
[5] Q.S. An-Nisa’ (4) : 129.

[6] Muhammad Abduh, Al-A’mal al-Kamilah, II. (Beirut dan Kairo: Dar al-Syuruq, 1993/1414), hlm. 82-85, 92-95.

[7] Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, (Chicago: Bibliothece, 1980), hlm. 47.

[8] Ibid., hlm. 48.

[9] Noeng Muhdjir, Filsafat Ilmu Kualitatif dan Kuantitatif untuk Pengembangan Ilmu dan Penelitian, edisi III, (Yogyakarta, Rake Sarasin, 2006), hlm. 138.

[10] Nasr Abu Zayd, Dawa’ir al-Khawf: Qira’ah fi Khithab al-Mar’ah, (al-markaz al-tsaqafi al-arabi, 1999), 187-188.

[11] Noeng Muhdjir, Filsafat Ilmu, hlm. 154.
[11] Nasr Abu Zayd, Dawa’ir al-Khawf, hlm. 112-116