Selasa, 15 Februari 2011

Beberapa pandangan para ahli terhadap Asuransi

Asuransi atau pertangguhan merupakan lembaga keuangan bukan bank yang sampai saat ini masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan para ahli hukum Islam. Hal ini disebabkan karena di dalam al-Qur’an dan hadis tidak ada satu pun ketentuan yang secara eksplisit mengatur tentang asuransi.
Dengan demikian hal asuransi dalam Islam termasuk bidang hukum ijtihadiyah artinya untuk menentukan hukumnya asuransi ini halal atau haram masih diperlukan peranan akal pikiran para ulama ahli fiqih melalui sarana ijtihad.

Secara garis besar menurut ahli hukum Islam asuransi dibedakan menjadi empat yaitu:[1]
1.      Pandangan bahwa asuransi haram dalam segala macam bentuknya baik asuransi sosial     maupun asuransi komersial. Pandangan ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqili, Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhit al-Mutha. Menurut pandangan kelompok ini asuransi diharamkan karena:
a.       Asuransi mengandung unsur perjudian (maisyir) yang dilarang di dalam Islam
b.      Asuransi mengandung ketidakpastian (gharar)
c.       Asuransi mengandung unsur riba.
d.      Asuransi mengandung unsur pemerasan yang bersifat menekan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, maka premi yang sudah dibayarkan akan hangus atau dikurangi.
e.       Premi-premi yang sudah dibayarkan seringkali akan diputar dalam praktik riba.
f.        Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang yang tidak bersifat tunai (akad sharf)
g.       Pada asuransi jiwa hidup matinya manusia dijadikan objek bisnis, yang itu berarti mendahului hukum Allah.

Sayyid Sabiq dalam Fiqih sunnah jilid 13 menyatakan bahwa asuransi tidak termasuk mudharobah yang sahih melainkan mudharobah yang fasiq yang tentu hukumnya secara syarak bertentangan dengan hukum akad asuransi, ditinjau dari segi undang-undang. Hal ini terjadi karena tidak mungkin dapat dikatakan bahwa perusahaan (syirkah) menyumbang orang yang mengasuransikan dengan pembayarannya. Akad asuransi ditinjau dari segi aturan mainnya adalah akad perolehan berdasarkan perkiraan.[2]

  1. Pandangan yang menyatakan bahwa asuransi hukumnya halal atau diperbolehkan  dalam Islam. Pandangan kedua ini dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf, Mustafa Amal Zarqa ( Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syariah, Universitas Syiria), Muhammad Yusuf Musa (Guru Besar Hukum Islam pada Universitas Kairo Mesir) Muhammad Nejatullah Siddiqi, dan Abdurrahman Isa. Adapun beberapa alasan mereka antara lain:
a.       tidak ada nash al-Qur’an dan sunnah yang secara jelas dan tegas melarang kegiatan asuransi
b.      ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak baik penanggung maupun tertanggung.
c.       Saling menguntungkan kedua belah pihak.
d.      Asuransi dapat berguna bagi kepentingan umum, sebab premi yang terkumpul dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan. Atau dengan kata lain kemaslahatan dari usaha asuransi lebih besar daripada mhudharatnya.
e.       Asuransi dikelola berdasar akad (mudharobah) bagi hasil.
f.        Asuransi termasuk kategori koperasi.
g.       Asuransi dianalogikan (diqiyaskan) dengan dana pensiun seperti Taspen.

  1. Pandangan yang menyatakan bahwa asuransi yang bersifat sosial diperbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan. Pendapat yang ketiga ini dianut oleh Muhammad Abu Zahroh (Guru Besar Hukum Islam pada Universitas Cairo, Mesir). Alasan bahwa asuransi yang bersifat sosial diperbolehkan karena jenis asuransi sosial tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang dalam Islam, sedangkan asuransi yang bersifat komersial tidak diperbolehkan karena mengandung unsur-unsur yang dilarang dalam Islam.
  2. Pandangan yang menyatakan bahwa asuransi adalah subhat
Alasannya adalah karena tidak ada dalil yang menyatakan secara tegas bahwa asuransi adalah haram begitu pula juga tidak ada dalil yang membolehkan asuransi. Dengan demikian maka, dalam Islam apabila berhadapan dengan hukum yang sifatnya subhat adalah lebih baik ditinggalkan.

Keberatan terhadap asuransi konvesional

Adapun ciri-ciri khas yang melekat pada asuransi konvensional, sehingga menimbulkan keberatan Islam terhadap asuransi konvensional adalah sebagai berikut:[3]
  1. asuransi konvensional adalah akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan ) bagi kedua belah pihak, pihak penanggung dan pihak tertanggung. Kedua kewajiban ini adalah kewajiban tertanggung untuk membayar premi asuransi dan kewajiban penanggung membayar klaim asuransi jika terjadi evenement.
  2. akad asuransi ini adalah akad muawadah yaitu akad yang didalamnya kedua orang yang berakad dapat mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya.
  3. akad asuransi adalah akad yang bersifat gharar, karena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada waktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang akan diterima.   
  4. akad asuransi ini adalah akad idzan (penundukan) terhadap pihak yang kuat yakni perusahaan asuransi, karena dialah yang menentukan syarat-syarat pertanggungan secara sepihak sebagaimana yang tertuang dalam polis asuransi.

Adapun mengenai perbedaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah secara lengkap di paparkan Muhammad Syakir Sula yaitu:[4]
1.      Asuransi syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawas produk yang di pasarkan dan sekaligus  pengelolaan investasi dana yang terkumpul yang dibayarkan oleh peserta, sedangkan dalam asuransi konvensional tidak ada dewan sejenis.
2.      Akad yang dilaksanakan pada asuransi syariah berdasar tolong menolong sedang pada asuransi konvensional didasarkan pada akad jual beli.
3.      Asuransi syariah berdasar bagi hasil sedangkan asuransi konvensional memakai sistem bunga berdasar perhitungan investasi termasuk riba.
4.      Kepemilikan dana pada asuransi syariah merupakan hak peserta, sedangkan pada asuransi konvensional dana terkumpul dari premi menjadi milik perusahaan.
5.      Dalam mekanismenya, asuransi syariah tidak mengenal dana hangus sebagaimana yang terjadi pada asuransi konvesonal.
6.      Pembagian keuntungan pada asuransi syariah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.



[1] Warkum Sumitro, 2004, - Asas Asas Perbankan Islam dan Lembaga- Lembaga terkait, BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syariah di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Gafindo Persada, hal 186-188.
[2] Sayyid Sabiq, 1997, Fikih Sunnah 13, Bandung : PT. Al-Ma’arif, hal 187.
[3] Anonim, Bagaimana Hukum Asuransi, Sharia Consulting Center, www. Syariah online. Com, tanggal akses 16 Juli 2007.
[4] Muhammad Syakir Sula, 2004, Asuransi Syariah Konsep dan Sistem Operasional, Jakarta: Gema Insani Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar