Selasa, 15 Februari 2011

Dinamisasi Hukum Islam Versi Mahmud Syaltut


Dinamisasi hukum Islam merupakan bagian dari upaya memahami hukum Islam agar berjalan sesuai dengan konteks zamannya. Banyak metode dan pendekatan yang digunakan ketika melakukan kajian intens terhadap permasalahan ini, khususnya mengenai pemahaman relasi teks dengan konteks. Sebagai salah seorang pembaharu yang senantiasa mengobarkan semangat ijtihad, Mahmud Syaltut memiliki metode sendiri ketika mengkaji permasalahan kontemporer terkait dengan hukum Islam. Menurut Syaltut sumber hukum Islam adalah al-Qur’an, Sunnah, dan ra’yu. Pemahaman terhadap al-Qur’an dan Sunnah dimaksudkannya sebagai pendekatan langsung terhadap teks kedua sumber tersebut, sedangkan ra’yu merupakan ijtihad terhadap berbagai persoalan yang tidak dijumpai nash (al-Qur’an dan Sunnah) yang dipraktekkan melalui metode ijma’, qiyas, dan maslahah mursalah. Melalui metode tersebut, persoalan-persoalan kontemporer coba dipahami dengan sumber-sumber hukum yang ia gunakan. Dengan pemahaman demikian hukum Islam ditangan Syaltut tampil lebih dinamis sesuai dengan konteks zamannya.

Kata Kunci: ijtihad, hokum Islam, Mahmud Syaltut


Mahmud Syaltut yang hidup antara tahun 1893-1963 M adalah salah seorang ulama Mesir yang berpandangan luas dan berpengetahuan mendalam dalam bidang keagamaan. Latar belakang Syaltut adalah seorang yang berpendidikan agama tradisional namun memiliki wawasan dan pembaharuan yang monumental pada masanya.[1]
Meskipun dalam literatur kesarjanaan Barat kurang dikenal, Syaltut merupakan Syaikh al-Azhar yang populer dan hingga kini namanya masih dikenal oleh kaum terpelajar muslim di segenap penjuru dunia. Sebagai seorang ulama dan pemikir, Syaltut memiliki pemikiran yang relevan untuk perkembangan kehidupan umat pada zamannya. Ia seorang ahli fikih dan berwawasan luas, kedalaman ilmunya dan keluasan pandangannya menyebabkannya mampu mengemukakan hukum Islam yang relevan dengan kebutuhan zamannya. Di samping memiliki pandangan yang luas dalam hukum Islam, ia juga seorang ahli tafsir yang melakukan penafsiran langsung kepada al-Qur’an dengan mengumpulkan ayat-ayat tentang suatu masalah, lalu ayat tersebut dijadikan jawaban atas permasalahan tersebut. Dalam hal ini ia dipandang sebagai pelopor metode tafsir maudhu’i, metode tafsir yang dianggap paling banyak sumbangannya dalam menangkap pesan al-Qur’an untuk menjawab problem kemanusiaan modern.[2] 
Syaltut selalu berusaha memberantas kekakuan atau kebekuan dalam berfikir dan fanatisme mazhab yang menjadi perpecahan umat Islam. Dengan membuka kembali pintu ijtihad, ia menganjurkan para ulama untuk ijtihad langsung pada al-Qur’an, karena menurutnya ada ayat al-Qur’an yang menunjukkan hukum secara tidak tegas (zanni ad-dalalah) sehingga dapat dipahami dengan berbagai macam penafsiran.[3]
Pemikiran-pemikirannya tentang ilmu-ilmu keislaman tertuang dalam beberapa karyanya sebagai berikut: 1. Al-Fatawa, merupakan sebuah koleksi fatwanya yang dikelompokkan dalam beberapa bahasan; 2. Al-Islam Aqidah wa Syariah, yang sebagian besar menyoroti tentang syariah yang membahas berbagai topik hukum serta sumber-sumber hukum Islam; 3. Min Tawjihad al-Islam, memuat tentang berbagai artikel dan tulisan mengenai topik-topik Islam yang beragam; 4. Al-Qur’an wa al-Mar’ah (al-Qur’an dan wanita); 5. Fiqh al-Qur’an wa as-Sunnah (Memahami al-Qur’an dan Sunnah); 5. Al-Qur’an wa al-Qital (al-Qur’an dan peperangan); 6. Kitab Muqaranah al-Mazahib (Perbandingan Mazhab); 7. Al-Mas’uliyyah al-Madaniyyah (Tanggung jawab Perdata dan Pidana Dalam Hukum Islam); 8. Al-Islam wa al-wujuh ad-Duali li al-Islam (Islam dan Eksistensi Agama bagi Islam); 9. Tanzim al-‘Alaqah ad-Dualiyyah fi al-Islam (Pengaturan Hubungan Internasional Dalam Islam); 10. Tanzim al-Nasl (Keluarga Berencana) .[4]
Mengingat latar belakang Mahmud Syaltut yang demikian menarik kiranya untuk mengungkap pemikirannya seputar hukum Islam, khususnya tentang dinamisasi ijtihad terhadap permasalahan aktual pada masa itu. Namun sebelum mengkaji beberapa permasalahan hukum hasil ijtihad Mahmud Syaltut terlebih dulu mengupas sumber-sumber hukum yang dia gunakan, sebab melalui sumber hukum inilah yang menjadi dasar ijtihad yang dia tempuh.


[1]Kate Zabiri, “Syaikh Mahmud Syaltut Antara Tradisi dan Modernitas”, dalam Al-Hikmah No. 12/Januari-Maret 1994, hal.57.
[2] Ensiklopedi Islam, jilid IV (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), hal.343.
[3] Ibid.
[4] Ibid. dan lihat  Muhammad al-Bahi, Pengantar dalam Al-Fatwa (al-Idarah al-Ammah li ats-Tsaqafah al-Islamiyah bi al-Azhar, 1959), hal. Alif dan ba’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar