Selasa, 15 Februari 2011

Sumber Hukum Islam Menurut Mahmud Syaltut

Berbeda dengan kesepakatan ulama klasik yang menjelaskan tentang urutan sumber hukum terdiri dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Mahmud Syaltut menampilkannya dalam tiga sumber saja, yaitu: al-Qur’an, Sunnah, dan Ra’yu. Sedangkan Ijma’ dan Qiyas menurut Mahmud Syaltut dimasukkan dalam kategori Ra’yu.
1). Al-Qur’an
sebagai sumber hukum yang pertama, al-Qur’an memuat ayat-ayat hukum yang relatif sedikit dan sangat terbatas jumlahnya. Dengan keterbatasannya itu jelas tidak memuat permasalahan-permasalahan yang baru (laisa muta’akhiran fi kulli ma ja a min ahkam). Karena komunitas Arab yang disapa al-Qur’an pun telah memiliki tradisi dan norma yang dirujuk dalam kehidupannya. Ayat-ayat ini hanyalah berfungsi sebagai konfirmasi, modifikasi, abolisi, dan baru legislasi (aqarra, hadzdhaba, alqha, dan yadullu). Sikap al-Qur’an ini menurut Syaltut didasarkan kepada semangat ajaran al-Qur’an untuk selalu mengelola kesejahteraan manusia, mewujudkan keadilan, dan memelihara hak-hak manusia. Oleh karenanya, kehadiran Islam tidaklah menghancurkan unsur-unsur yang telah tertanam dalam kehidupan komunitas suatu masyarakat.
Kandungan hukum yang dalam al-Qur’an tidak semuanya disampaikan dengan menggunakan lafadh-lafadh yang jelas dan pasti maknanya, namun adakalanya ayat itu tampil dalam bentuk yang memerlukan pemahaman seksama. Model yang pertama dikualifikasikan sebagai ayat-ayat qath’i yang tidak menjadi wilayah ijtihad. Sedangkan model yang kedua membutuhkan otoritas penjelasan yang dalam hal ini diperankan oleh Sunnah. Namun demikian karena zaman terus berganti dengan segala konsekuensi perubahannya, secara tekstual al-Qur’an berikut Sunnahpun tidak lagi menyentuh dinamika perubahan tersebut. Menurut Syaltut, melalui bingkai kaedah-kaedah universal (Qawaid al-Kulliyah) dan tujuan-tujuan umum (Maqashid al-Ammah), ijtihad terhadap permasalahan-permasalahan baru harus dilakukan.
2). Sunnah
Menurut pandangan Syaltut, muatan hukum yang terkandung dalam Sunnah memiliki fungsi sebagai berikut; pertama, menjelaskan kemujmalan al-Qur’an, mentakhsis keumuman al-Qur’an, memberi batasan (taqyid) makna mutlaq al-Qur’an, dan secara mandiri menjelaskan tentang ibadah, halal dan haram, akidah, dan akhlak. Peraturan hukum yang terkandung dalam Sunnah yang demikian itu berlaku abadi. Kedua, menjelaskan perilaku Nabi saw sebagai pemimpin umat Islam yang ditampilkan dalam bentuk kepemimpinan Nabi, misalnya dalam hal mengatur pemeritahan, mengangkat hakim dan gubernur, membagi ghanimah, melaksanakan berbagai perjanjian-perjanjian, menjadi pemimpin perang, dan permasalahan-permasahan publik lainnya. Sunnah jenis ini tidak menjadi peraturan hukum yang berlaku umum. Ia hanya tasyri’ khas yang hanya dijalankan lewat petunjuk Imam. Ketiga, menjelaskan perilaku Nabi saw sebagai hakim yang memutuskan berbagai perkara. Sebagaimana halnya jenis Sunnah yang kedua, jenis yang ketiga inipun hanya bernilai tasyri’ khas yang hanya bisa berlaku lewat petunjuk Imam.
Berdasarkan pejelasan di atas, aspek hukum yang terkandung dalam Sunnah memuat unsur-unsur berikut:Pertama, akidah yang membedakan antara Iman dan kufur, sifat-sifat Allah, Rasul-rasul, wahyu dan hari akhir;Kedua, akhlak yang berisi pesan-pesan moral dan kebijaksanaan; Ketiga, hukum-hukum praktis (al-Ahkam al-‘Amaliyah) yang berkaitan dengan peraturan-peraturan ibadat, mengurusi masalah muamalah, pemerataan hak dan keadilan hukum di antara manusia.
Unsur yang ketiga inilah Sunnah dikategorikan sebagai sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an. Sedangkan hukum-hukum yang diperoleh dari hadits ini disebut sebagai fiqhus sunnah . Sebagaimana halnya fiqhul qur’an diistilahkan untuk hukum-hukum ibadah dan muamalah yang diistinbatkan dari ayat-ayat al-Qur’an. Berkaitan dengan hal ini Syaltut mengatakan bahwa hukum-hukum amali yang berkaitan dengan seputar permasalahan kemanusiaan baik sebagai individu maupun masyarakat diselesaikan dengan mengambil secara langsung dari al-Qur’an dan Sunnah. Ini diungkapkan ketika Syaltut memperkenalkan fiqhul qur’an dan fiqhul sunnah sebagai metode ijtihad.
3). Ra’yu
Mahmud Syaltut tidak mendefinisakan secara jelas apa yang dimaksud ra’yu. Namun dengan menggunakan pendekatan historis, Syaltut mengedepankan bukti bahwa ra’yu telah dipraktekkan sejak masa Rasul saw. kemudian pada masa Sahabat realisasi ra’yu muncul dalam dua bentuk; pertama, bentuk ijma’ yang mekanismenya dilakukan melalui musyawarah yang diwakili oleh para tokoh otoritatif (ulul amri). Kedua, bentuk fardi yang mekanismenya dikemukakan dengan menggunakan kebebasan pendapat bagi individu.
Menurut Syaltut, ijma’ yang menjadi bagian dari ra’yu yang dapat dijadikan sumber hukum adalah kesepakatan para ahli pikir terhadap berbagai macam kasus yang dibahas oleh para tokoh Syura berdasarkan pertimbangan kemaslahatan manusia. Keputusan hukum yang dihasilkan oleh ijma’ dapat dihapus oleh kesepakatan ijma’ yang datang kemudian. Ini didasarkan pada logika penentuan adanya maslahat yang berkaitan dengan suatu permasalahan bisa berbeda berdasarkan perbedaan waktu, tempat, dan kondisi.
Sedangkan ijtihad fardi terbuka bagi siapa saja dari kalangan umat Islam yang memiliki kualifikasi dibidang penelitian hukum. Meskipun Syaltut tidak menyebutkan secara khusus model ra’yu dalam metodologinya selain ijma’, namun dalam fatwa-fatwanya ditemukan bahwa ra’yu yang dimaksud adalah qiyas dan maslahah mursalah. Berkaitan dengan permasalahan-permasalahan baru yang menuntut pemecahan hukumnya, Syaltut mengatakan bahwa ketiga sumber itu harus dioperasionalkan dengan menggunakan skala prioritas. Jika ayat-ayat al-Qur’an dapat mencakup kasus tersebut, maka ayat tersebut yang diberlakukan. Jika tidak dijumpai baru menggunakan Sunnah. Sedangkan ra’yu digunakan sebagai pilihan terakhir dalam mencari ketentuan hukum dan tidak terpisahkan dari semangat kedua sumber di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar