Selasa, 15 Februari 2011

Produk Ijtihad Mahmud Syaltut Tentang Poligami


Masalah poligami menjadi perhatian Mahmud Syaltut ketika dia menjumpai pandangan masyarakat Mesir ada yang terpengaruh pola pikir Barat yang mulai mengotak atik dan mempermainkan ayat-ayat al-Qur’an.[1] Dalam hal ini Syaltut berpendapat bahwa pada dasarnya hukum poligami adalah mubah dan tetap dapat dipraktekkan hingga saat ini. Dengan berdasarkan pada surat an-Nisa ayat 3 dan an-Nisa ayat 129 dengan penjelasan relatif klasik Syaltut mengatakan bahwa
Berkaitan dengan masalah poligami, Islam tidaklah memunculkan sesuatu yang baru akan tetapi menetapkan apa yang telah berlaku secara alami di masyarakat. Dengan memperbaiki apa yang dipandang perlu, sehingga menjamin sikap moderat yang menjaga watak alamiah manusia serta memelihara berbagai penyelewengan dalam masyarakat. Sebagaimana perkawinan yang sudah lama dikenal dalam masyarakat, poligami pun sebenarnya sudah dipraktekkan sejak dahulu. Poligami juga telah dikenal dalam tradisi agama-agama samawi dan meluas sedemikian rupa”.[2] 

            Sesuai dengan metode ijtihad yang ia gunakan, di sini Syaltut berijtihad dengan mendasarkan kepada ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan kepada permasalahan tersebut, yaitu surat an-Nisa ayat 3 yang membicarakan tentang kebolehan poligami dan ayat 129 yang berbicara tentang persyaratan bagi yang hendak melakukan poligami. Fatwa ini menjadi penting di saat para ulama disekelilingnya telah banyak yang beralih pendapat terutama dari pengaruh pemikiran Barat yang seakan-akan menutup pintu poligami.
            Pendapat Syaltut di atas bukanlah hal baru tentang seputar permasalahan poligami. Melalui pendekatan historis ia menjelaskan bahwa ayat ini tidak membuat peraturan tentang poligami sebagai sesuatu yang baru karena telah dikenal dan dipraktekkan oleh berbagai agama serta adat istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini. Ayat ini juga tidak mewajibkan atau menganjurkan poligami namun hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itupun hanya pintu keciul bagi yang amat membutuhkan dengan persyaratan yang tidak ringan. Dengan demikian pembahasan tentang poligami hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik buruknya tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.[3]


[1]Ibid., hal. 185.
[2] Ibid., hal. 187.
[3] Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid IV, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 324-326.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar