Para ulama klasik sepakat bahwa yang dimaksud fi sabilillah adalah orang-orang yang terlibat peperangan dalam rangka membela agama Allah.[1]
Mahmud Syaltut menegaskan bahwa dengan membaca pendapat dalam literatur kitab-kitab fiqh terhadap permasalahan tersebut tidaklah memuaskan. Dalam pandangannya, fi sabilillah dalam ayat yang terangkai dengan mustahiq zakat adalah berkaitan dengan maslahah al-ammah (kemaslahatan umum) yang tidak bisa ditafsiri hak milik individu. Yang dimaksud dengan kemaslahatan umum di sini adalah pembentukan pasukan perang yang kuat untuk persiapan pertahanan negara dan membela kehormatan bangsa meliputi bidang personil, akomodasi, dan peralatan. Di samping itu pengembangan infra struktur dalam suatu negara guna meningkatkan kesejahteraan bagi warganya meliputi pembangunan rumah sakit, jembatan, sekolahan, sarana transportasi, serta segala perlengkapan yang berhubungan dengan syiar Islam yang perlu disosialisasikan secara massal termasuk kebutuhan juru dakwah yang handal juga merupakan bagian dari upaya kemaslahatan umum.[2]
Pendapat Syaltut tentang fi sabilillah di atas didasarkan pada perluasan makna sabilillah yang secara esensial meliputi segala sesuatu yang dapat memelihara kehormatan bangsa baik dalam hal materiil maupun spirituil sekaligus menampilkan jatidiri bangsa sebagai identitas pembeda dengan bangsa yang lainnya.[3]
Apabila dilihat dari sudut pandang prinsip-prinsip ijtihad tampaknya Syaltut menggunakan pendekatan maslahah ketika menafsirkan makna sabilillah. Berdasarkan berprinsip maslahah esensi suatu hukum tampak lebih hidup dan memberi jawaban nyata terhadap realitas masyarakat.
Dari beberapa pemikiran Mahmud Syaltut di atas menunjukkan, bahwa apa yang diungkapkan Syaltut tidak lain merupakan salah satu bentuk upaya mengembangkan pemahaman terhadap permasalahan hukum terkait dengan perubahan sosial sehingga hukum Islam tampak dinamis dalam menyikapi permasalahan kontemporer yang disebabkan perkembangan zaman. Hakekat dinamisasi ditunjukkan Syaltut dengan merumuskan kembali ketentuan hukum dengan mengedepankan relasi teks dengan konteks. Terlebih tujuan utama disyariatkan hukum adalah untuk kemaslahatan umat manusia. Kemaslahatan tersebut bersifat dinamis dan fleksibel. Maksudnya, pertimbangan kemaslahatan tersebut seiring dengan perkembangan zaman. Sebagai konsekuensinya, bisa jadi yang dianggap maslahat pada masa lalu belum tentu dianggap maslahat pada masa sekarang.[4]
Ketika memahami kasus hukum, Syaltut tidak hanya terpaku pada normativitas suatu teks. Pendekatan historis ia gunakan dalam memahami kasus hukum, seperti poligami. Di samping itu Syaltut juga menggunakan pendekatan sosiologis ketika membahas tentang permasalahan memerdekakan budak (ar-Riqab) dan makna fi sabilillah. Dalam hal ini Syaltut mengkaitkan bunyi teks dengan konteks sosial pada masa itu. Dengan keluasan pandangan dan pemikirannya tentang hukum Islam tidak lantas menghiraukan teks. Pendekatan tekstual dengan menekankan aspek kebahasaan tetap juga ia pergunakan terhadap kasus-kasus tertentu, seperti pada permasalahan bersalaman dengan perempuan tidak membatalkan wudlu. Dalam hal ini ia memahami lafazd Lamastumun Nisa’ dengan pendekatan kebahasaan dengan mencari hadits-hadits pendukung. Dengan pemahaman demikian, hukum Islam ditangan Syaltut tampil dinamis sesuai dengan konteks zamannya.
[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid II, hal. 367. Tafsir al-Maraghi, Jilid IV, hal. 145. Tafsir al-Kasysyaf, IV, hal. 60.
[2] Mahmud Syaltut, Al-Islam…,hal.111. Bandingkan dengan M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, Jilid V, hal.599.
[4] Amir Muallim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1999), hal. 38.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar