Penafsiran konvensional terhadap ar-Riqab (memerdekakan budak) sebagai kalangan yang berhak menerima zakat, yakni tuan si budak yang akan menjual budak tersebut kepada orang yang akan membelinya untuk dimerdekakan atau orang yang akan menerima ganti kemerdekaan budak itu . Untuk itulah para pihak yang berbuat demikian itu yang berhak mendapatkan bagian zakat.[1]
Menurut Mahmud Syaltut, dalam konteks ini penafsiran ar-Riqab perlu diperluas tidak melulu menyangkut membebaskan budak tetapi merupakan upaya membebaskan negara-negara yang masih dikuasai negara adikuasa yang bertindak zalim baik secara politik, ekonomi, maupun ideologis. Negara-negara semacam ini masuk dalam cengkeraman perbudakan dan mengekang kebebasan warganya sehingga bagi kemanusiaan secara global dampaknya lebih mengerikan daripada sekedar perbudakan hamba sahaya. Lagi pula lanjut Syaltut perbudakan yang ditunjuk dalam surat at-Taubah ayat 60 itu sudah tidak ditemukan lagi faktanya di dunia sekarang ini.[2]
Lebih lanjut Syaltut menjelaskan bahwa negara-negara yang masih diperbudak ini umumnya adalah negara yang warganya mayoritas beragama Islam. Oleh karena itu, ia menegaskan, alangkah pantasnya jika perbudakan semacam ini dibebaskan lewat perlawanan dan perjuangan guna melepaskan penjajahan negara adikuasa yang jelas menimbulkan dampak kerugian bagi kemanusiaan. Untuk usaha pembebasan ini, Syaltut berpendapat tidak hanya dengan zakat saja namun juga melibatkan jiwa dan raga.[3]
Dalam kasus memerdekakan budak (ar-Riqab), Syaltut menggunakan pendekatan qiyas. Dia menganalogikan penjajahan atas bangsa dengan perbudakan pada masa awal Islam. Walaupun Syaltut tidak menjelaskan illat-nya, namun hal itu bisa dipastikan dengan merujuk lanngsung kepada surat at-Taubah ayat 60 di atas. Kiranya illat yang mengikat antara memerdekakan budak pada masa awal Islam dengan memerdekakan bangsa yang terjajah adalah menyingkirkan kesulitan dan menjauhkan nestapa manusia. [1] Lihat M. Jawad Maghniyyah, Tafsir al-Kasysyaf, Jilid IV, (Darul Ilmi Lil A’lamin, tt), hal. 60. Ibnu Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Jilid II (Darul Fikr, 1980), hal. 366. Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid IV (Darul Fikr, tt), hal. 144 .
[2] Lihat Mahmud Syaltut, Al-Islam…, hal. 111. Bandingkan dengan M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, Jilid V, hal. 598-599. Menjelaskan bahwa dalam konteks sekarang bisa jadi bagi tenaga kerja yang terikat kontrak dengan suatu perusahaan, dengan berbagai alasan yang dapat dibenarkan harus membatalkan kontraknya secara sepihak, sedang pemilik perusahaan enggan membatalkan kecuali dengan ganti rugi. Pihak yang dalam posisi ini juga berhak mendapatkan zakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar