Dalam membahas tentang pemikiran Schelemecher, Beliau mengatakan secara eksplisit bahwa konstruk hermeneutika yang dibangunnya adalah “hermeneutika gramatikal dan psikologis” dia mengatakan bahwa pemahaman hanyalah sebuah keberadaan dalam kedua moment yang saling berkaitan yakni gramatikal dan psikologis.
Pertama segala hal yang ada dalam ungkapan yang tertentu menuntut penentuan makna yang lebih tepat hanya dapat ditetapkan melalui bidan bahasa yang telah diketahui oleh pengarang dan audiens orisinal/aslinya. Prinsip ini memberikan pengertian kepada kita bahwa dalam upaya memahami sebuah teks, seseorang harus mencari tahu makna kata-kata dan konteksnya yang memang telah dikenal oleh pengarang dan audiennya. Sistem bahasa yang harus diperhatikan, menurut Schleiermacher, adalah sistem bahasa yang ada pada saat munculnya teks yang ditafsirkan itu. Hal itu bertujuan agar seseorang penafsir mampu mencapai makna obyektif.[1]
Kedua, makna setiap kata pada tempat tertentu harus ditentukan sesuai dengan kebersamaannya dengan kata-kata lain yang berada di sekitarnya (sintagmatik). Selain itu, Scheleirmacher juga menekankan pentingnya perhatian pada hubungan antar element dan hubungan antar kalimat. Ketiga, kosakata dan sejarah era pengarang dipandang sebagai keseluruhan, yang darinya tulisan-tulisannya, harus dipahami sebagai bagiannya. Jadi, sebuah kata hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan dan dalam konteks kalimat tertentu, kalimat dimengerti dalam sebuah konteks pembicaraan tertentu, dalam konteks pembicaraan dapat dipahami dalam kesatuan yang lebih besar lagi.
Schleiermacher mampunyai gagasan tentang hermeneutika psikologis, artinya seseorang harus mampu memahami kejiwaan pengarang dari teks tersebut. Beliau menawarkan dua metode yaitu; metode divinatori, dan metode perbandingan. Maksud dari metode divinatori yaitu; dimana seseorang mufassir menstransformasikan dirinya ke dalam kejiwaan orang lain dan mencoba memahami orang itu secara langsung. Sedangkan pengertian metode perbandingan yaitu; seseorang mufassir mencoba memahami pengarang dengan jalan membandingkannya dengan orang lain, dengan asumsi bahwa mereka sama-sama memiliki sesuatu yang universal atau kesamaan. Kedua metode ini tidak bisa dipisahkan, dan harus saling keterkaitan. Beliau mengatakan memasuki psikologi seseorang secara langsung bisa mencapai kepastian hanya melalui perbandingan konfirmatif, karena tanpa hal itu, ia selalu tidak bisa dipercaya.
Schleiemacher mengatakan bahwa kesalahpahaman ada dua porsi yaitu; pertama, kesalahpahaman kualitatif, (kesalahpahaman terhadap isi teks), kedua kesalahpahaman kuantitatif (kesalahpahaman terhadap nuansa teks). Kesalahpahaman juga bisa dibagi menjadi dua macam. Pertama kesalahpahaman positif, yakni kesalahan tanpa adanya kesengajaan, kedua kesalahpahaman aktif yaitu memasukkan makna dengan kesengajaan yang merupakan konsekuensi dari prasangka diri seorang penafsir, serta hanya mengutamakan satu sisi terhadap sesuatu yang dekat pada lingkaran ide seseorang, dan menolak apa yang diluar ide.
Untuk menghindari kesalahpahaman menurut Schleiermacher seorang penafsir harus melakukan kajian sebagai berikut:
1. Analisis historis yang bernuansa obyektif (sebuah analisis yang mampu memberikan pengetahuan, sejauh mana ungkapan itu berhubungan dengan totalitas bahasa, dan pengetahuan yang tertuang dalam ungkapan tersebut merupakan produk bahasa.
2. Analisis divinatori yang bernuansa obyektif (sebuah analisis yang memberikan kesadaran bahwa ungkapan itu akan menjadi satu titik perkembangan bahasa.
3. Analisis historis subyektif (terkait dengan subyektivitas pengarang ungkapan, untuk mengetahui bagaimana ungkapan tertentu itu merupakan fakta yang terdapat dalam pikiran author.
4. Analisis divinatori subyektif (analisis bagaimana pemikiran yang terletak di dalam otak pengarang itu mempunyai pengaruh padanya ketika mengungkapkan suatu ungkapan.
Perlu untuk digaris bawahi dari obyektif yang dimaksud di sini yaitu bukan obyektif secara total. Mustahil manusia bisa obyektif secara total, melainkan yaitu quasi-obyektivitas (perkiraan sementara).
Di sisi lain, beberapa pakar gagal untuk melihat sisi penting dalam perbedaan antara teokrasi dan nomokrasi. Detlev khalid, misalnya berpendapat bahwa sistem pemerintahan islam tidak lain hanyalah sebuah bentuk teokrasi. Menurut pandangan Ibn Taimiyah, seorang hakim dalam pandangan yang lebih luas karena pendalaman materi bersikap komprehensip
[1] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2010), hlm, 39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar