Selasa, 29 Maret 2011

Ijma'

Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti.
Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan أجمع فلان على الأمر   berarti berupaya di atasnya.
Sebagaimana firman Allah Swt:
Artinya : ...“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu... (Qs.10:71)
Kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti  yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara.
Menurut ulama Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid Islam dalam suatu masa sesudah wafatnya Rasulullah saw. atas suatu hukum syara’ dalam suatu kasus. Mujtahid adalah orang yang berkompeten untuk merumuskan hukum, sedangkan hukum syara’ adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang yang dibebani hukum). Contoh ijma’ adalah hak waris seorang kakek dalam hal seseorang meninggal dengan meninggalkan anak dan ayah yang masih hidup.
Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’. ‘Kesepakatan’ itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:
1.      Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid
2.      Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’
3.      Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka
4.      Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid

Syarat Mujtahid
Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
Syarat pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:
  1. Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
  2. Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
  3. Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.
       
Kehujjahan Ijma’
Apabila rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan menghitung seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun individu.
Selanjutnya mereka menyepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar