Kamis, 31 Maret 2011

Belajar dari Kang Gito Rollies

Siapa yang tidak kenal kang Gito Rollies ?, eksistensinya di dunia musik Indonesia yang begitu lama, sejak tahun 70’ an sampai sekarang membuat dia dikenal oleh lintas generasi, baik kaum bapak-bapak dan ibu-ibu (yang ditahun 70’ an masih menjadi kawula muda dan akrab dengan musik the Rolies, musik anak muda pada waktu itu) maupun para ABG jaman milenium sekarang sekalipun image ‘sang maestro’ tersebut sudah agak bergeser kepada sosok yang akrab dengan simbol-simbol agama Islam.

Pada mulanya, wajarnya anak muda yang punya energi berlebih, kang Gito ditahun 70’an ikut arus pergaulan, bahkan dalam beberapa hal malah menjadi simbol dari ‘gaya’ anak muda pada waktu itu, pakaian kucel dan celana jean belel ala hippies, hidup diisi dengan pesta pora dikelilingi wanita-wanita cantik, bahkan mabuk dan ‘ngeboat’ dijalaninya sebagai kegiatan sehari-hari. Kalau kita berimajinasi, seandainya kang Gito ‘konsisten’ dengan gaya hidupnya sampai sekarang, terbayang gambaran laki-laki setengah baya, lima puluhan dengan rambut keriting gondrong acak-acakan, pakai anting ditelinga kiri, umumnya selalu mengenakan baju kaos buntung memperlihatkan tato ‘metal’ dibahu. Walaupun muka sudah tergurat raut ketuaan, namun cara berbicara masih tidak kalah dengan ABG, banyak pakai bahasa gaul dan sedikit agak teler. Kalau lagi manggung terbayang gerakan-gerakan energik, loncat dan berlari dari satu ujung panggung ke ujung yang lain, sambil sesekali berteriak ‘memanasi’ penonton.

imageNamun sosok kang Gito yang kita lihat sekarang benar-benar diluar perkiraan, hampir tidak pernah kita lihat dia tidak memakai baju gamis Arab, atau model ‘Pakistani’, kopiah putih dikepala yang berambut pendek, kadang-kadang menenteng tas kain sederhana, berjenggot panjang dan sebagian sudah terlihat memutih. Bicarapun sudah tidak meledak-ledak, agak kalem, bahkan sering nyeletuk ‘ subhanallah, masya Allah, astaghfirullah’, Dan kalau lagi manggung menyanyikan lagu, lebih sering yang bernuansa ke-Islaman bahkan tidak jarang dilantunkan sambil menangis.

Ketika ditanya mengapa dia sekarang selalu bergaya ‘sangat Islami’ dan cenderung memperlihatkan simbol-simbol ‘yang kebanyakan merupakan budaya Arab, bukan suatu hal yang prinsipil dalam ajaran Islam’, menarik sekali jawabannya. Kang Gito berkisah ketika pada saat hatinya terbuka terhadap ajaran Islam, dia sebenarnya sudah mulai mengurangi kebiasaan-kebiasaan maksiatnya. Dia sudah jarang pergi ke pesta-pesta urakan, mengurangi minum-minum dan bermabok-mabokan dan ‘ngedrug’. Namun lingkungan pergaulannya yang sudah dijalaninya bertahun-tahun tidak serta merta memahami hal tersebut, selalu saja ada ajakan untuk kembali ‘tercebur’ baik datangnya dari teman yang tidak mengetahui perubahan pada dirinya maupun yang sudah tahu tapi beranggapan ini hanya ‘angin surga’ sementara. Ketika kang Gito memutuskan untuk merubah gaya pakaiannya termasuk memelihara jenggot, maka dia merasa seperti mempunyai ‘benteng’ dengan identitas barunya itu. Teman-temannya mulai segan mengajak kepada hal-hal buruk yang dulunya lumrah mereka lakukan bersama-sama, dia betul-betul merasa terlindungi. Rupanya baju gamis, pakistani, peci putih dan jenggot, secara psikologis tidak sinkron dengan kemaksiatan.

Memang kelihatan agak aneh, kalau misalnya kita melihat seorang laki-laki berbaju gamis, pakai sorban dan berjenggot ‘gaya’ ustadz Abu Bakar Baasyir, mondar mandir keluar masuk tempat-tempat maksiat di Lokasari, Mangga Besar misalnya. Sekalipun mungkin bukan bermaksud hendak melakukan maksiat, namun pastilah timbul pertanyaan dibenak pelacur maupun germo yang mangkal disana : “pakai sorban koq kesini?”. Bahkan bagi pihak yang berpakaian simbol-simbol itupun akan berpikir seribu kali untuk pergi mendekati tempat maksiat, minimal mungkin akan mengganti pakaiannya dengan pantalon, kemeja, dasi atau jas gaya Eropa, karena memang pakaian tersebut terlihat ‘nyambung' dengan tempat-tempat seperti itu. Ada pengalaman seorang teman ketika melakukan jamuan bisnis, mengajak relasinya ke sebuah karaoke. Kebetulan teman tersebut belum sempat bercukur sehingga wajahnya dihiasi jenggot agak panjang. Seperti biasa di ‘karaoke room’ mereka memesan perempuan penghibur untuk menemani dan pertanyaan pertama yang diterimanya dari perempuan penghibur tersebut adalah : “ Bapak punya jenggot koq mainnya di karaoke?”

Seribu empat ratus tahun yang lalu, Rasulullah berkata kepada para sahabat :”Hendaklah kamu memelihara jenggot”, disitu Rasul yang ummi sebenarnya berbicara tentang hal yang sangat besar, memproklamirkan suatu identitas yang secara psikologis akan memisahkan umat dari perbuatan yang dilarang ajaran Islam. Disitu Rasulullah menciptakan ‘benteng yang tidak terlihat’ yang bisa dipakai umat untuk menjaga dirinya dari ketersesatan.

Demikianlah seharusnya kita memandang ajaran-ajaran Islam, kita sebaiknya berpikir melihat sisi positifnya dan mampu memanfaatkan ajaran tersebut menjadi sesuatu yang menunjang kegiatan beragama kita. Tidak seharusnya umat Islam ‘yang sudah maju’ berpikiran apriori , seolah-olah simbol-simbol Islam tersebut adalah gambaran dari cara berpikir sempit dan ketinggalan jaman, lebih merupakan budaya Arab, tidak sesuai lagi dengan tata pergaulan modern, dan yang lebih aneh lagi, ketika kita merubah ‘baju’ dari gamis dan sorban kepada kemeja, jas dan dasi, sebenarnya kita cuma berpindah dari suatu simbol ke simbol yang lain., yang belum tentu bisa menggambarkan terpisahnya kesalehan dan kemaksiatan.

Memang dengan menunjukan identitas ke-Islaman, kita bisa tergelincir kepada ria, pamer bahkan sampai dipakai untuk menipu calon mertua misalnya (supaya kelihatan orang baik-baik), namun tentunya semuanya berpulang kepada diri masing-masing, untuk itu kita bisa belajar dari kang Gito, memakai simbol-simbol Islam ternyata membuat dia bisa selamat, kalau tidak hari ini kita masih melihat Gito Rollies sebagai seorang penyanyi urakan, berlompat-lompatan dipanggung seperti orang kesurupan, lupa bahwa umur makin tua, makin dekat ke batas akhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar