Abstrak
Dalam studi keilmuan Islam klasik, tafsir Al-Qur’an, selama ini bersifat single tradition, belum dihubungkan langsung dengan realitas sosial serta problem-problem kemanusiaan. Teks kitab suci dihadirkan menjadi pusat dan sekaligus pemegang otoritas. Dengan demikian, yang berkuasa menyelesaikan problem-problem kehidupan masyarakat adalah teks. Problem sosial, politik, ekonomi dan kemanusiaan, selalu dikembalikan pada teks kitab suci. Kerangka berpikirnya bersifat deduktif yang berpangkal pada teks. Akhirnya, tafsir cenderung bersifat teosentris dan bahkan ideologis. Tafsir pun tercerabut dari persoalan-persoalan kemanusiaan riil yang dihadapi umat manusia. Tuhan menjadi lebih penting untuk dibela, sementara manusia tetap dibiarkan sengsara.
Kerja metodologis tafsir sekarang memerlukan bantuan ilmu-ilmu sosial. Dengan memanfaatkan ilmu-ilmu sosial, penafsir akan mampu mengurai problem-problem sosial kemanusiaan, bukan dengan model penyelesaian dogmatik kerohanian, tetapi secara kultural dan sosiologis. Ikhtiar inilah yang dikenal dengan tafsir emansipatoris, yakni secara konseptual Al-Qur’an ditempatkan dalam ruang sosial dan segala problematika kehidupan yang terjadi, sehingga sifatnya tidak lagi abstrak, tetapi spesifik dan praksis, karena dikaitkan langsung dengan problem sosial.
Dengan metodologi tafsir yang demikian, masalah kemiskinan, kebodohan, ketimpangan jender, politik yang menindas rakyat kecil, korupsi, rasisme, dan masalah-masalah sosial lain, merupakan masalah yang penting untuk dipecahkan dalam konteks tafsir kitab suci.
Pendahuluan
Tuhan mewahyukan Al-Qur’an kepada Muhammad Saw. bukan sekadar sebagai inisiasi kerasulan, apalagi suvenir atau nomenklatur. Secara praksis, Al-Qur’an bagi Muhammad Saw. merupakan inspirasi etik pembebasan yang menyinari kesadaran dan gerakan sosial dalam membangun masyarakat yang sejahtera, adil dan manusiawi. Sebab, tujuan dasar Islam adalah persaudaraan universal, kesetaraan, dan keadilan sosial.
Kontemplasi yang dilakukan Muhammad Saw. di gua Hira, yang kemudian mengantarkan dirinya memeroleh pengalaman agung—menerima wahyu dari Tuhan untuk kali pertama—hakikatnya merupakan refleksi dan transendensi atas kenyataan-kenyataan sosial masyarakat Arab yang timpang saat itu: sistem ekonomi yang memihak kepada golongan kaya, dominasi laki-laki, dan otoritas sosial serta politik memusat di tangan klan-klan yang dominan.
Dengan demikian, Al-Qur’an saat itu terinternalisasi pada diri Muhammad Saw. yang selalu aktif mempersiapkan diri membuka kaca mata analisis sosial dalam merespons realitas sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi masyarakat saat itu. Wahyu yang turun masa awal kerasulannya, misalnya, sangat lekat dengan kritik etik sosial—kritik atas orang yang mengakumulasi kekayaan dengan tanpa batas (Qs. Al-Takâtsur: 1-8), larangan menghardik anak yatim dan menelantarkan orang miskin (Qs. Al-Dhuhâ: 6-10)—ketimbang corak kritik teologis. Hal ini menunjukkan betapa transformasi sosial yang dilakukan Muhammad Saw., tidak lepas dari kemampuannya dalam membaca problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat saat itu. Dan dengan demikian, artinya bahwa Al-Qur’an yang diwahyukan kepadanya tidak lahir dari ruang hampa yang kedap dari problem sosial, ekonomi dan politik yang melilit masyarakat saat itu.
Kini, lima belas abad telah berlalu. Al-Qur’an telah terkodifikasi ke dalam satu mushhaf dan satu teks standar. Lalu, bagaimana kita mesti memahaminya dalam konteks problem sosial yang kompleks yang kita hadapi sekarang?
Pertanyaan ini jelas berkaitan dengan problem metodologi penafsiran. Perlu disadari, bahwa sebagai wahyu yang telah mengalami tekstualisasi, Al-Qur’an telah menjadi teks tertutup. Mohamed Arkoun menyebutnya sebagai corpus resmi. Artinya, jumlah ayat dan surahnya tidak lagi bisa bertambah, pun apalagi dikurangi. Namun, pembacaan terhadapnya, sebagai proses penggalian makna-makna konseptual yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, tentu selaiknya tidaklah pernah tertutup dan atau hanya dimonopoli oleh suatu komunitas tertentu secara hegemonik. Sebab, sebagai teks, Al-Qur’an secara inhern tidaklah akan pernah bisa ‘berbicara’ sendiri, ia mesti disuarakan dengan ‘pembacaan-pembacaan’ secara produktif. “Al-Qur’ân bayna daftayi al-mushhaf lâ yanthiqu, wa innamâ yatakallamu bihi al-rijâl,” kata Imam Ali. Pembacaan yang produktif ini tentu mengandaikan adanya metodologi tafsir.
Tafsir dalam Nalar Teosentris-Ideologis
Sejauh ini dalam studi keilmuan Islam klasik, sebagai suatu metode dalam memahami kitab suci Al-Qur’an, ilmu tafsir termasuk dalam lingkup ilmu keislaman yang bersifat
single tradition; tidak dihubungkan secara langsung dengan ilmu-ilmu sosial. Kitab-kitab
`Ulûm al-Qur’ân yang selama ini menjadi standar dalam ilmu tafsir, secara umum bicara dalam konteks problem teks. Belum memasuki ranah problem konteks sosial di mana penafsir berada.
Lalu, pada era sekarang muncul pemikir-pemikir baru yang merumuskan metodologi baru dalam pembacaan teks kitab suci. Sekadar menyebut contoh, Riffat Hassan membangun hermeneutik Al-Qur’an feminis dengan menyusun tiga prinsip interpretasi: (1)
linguistic accuracy, yaitu melihat terma dengan merujuk pada semua leksikon klasik untuk memperoleh apa yang dimaksud dengan kata itu dalam kebudayaan di mana ia dipergunakan, (2)
criterion of philosophical consistency, yaitu melihat penggunaan kata-kata dalam Al-Qur’an itu secara filosofis konsisten dan tidak saling bertentangan, dan (3)
ethical criterion, yakni bahwa praktik etis sesungguhnya harus terefleksikan dalam Al-Qur’an.
Amin al-Khuli (w. 1966 M.) ketika berhadapan dengan teks Al-Qur’an, membangun wilayah hermeneutik teks dari
unthinkable menjadi
thinkable. Ia memperlakukan teks Al-Qur’an sebagai kitab sastra Arab terbesar (
Kitâb al-`Arabiyyah al-akbar), sehingga analisis linguistik-filologis teks merupakan upaya niscaya untuk menangkap pesan moral Al-Qur’an. Dalam usahanya ini, al-Khuli sama sekali tidak bermaksud menyejajarkan status Al-Qur’an dengan teks sastra kemanusiaan, tetapi ia bermaksud menemukan angan-angan sosial kebudayaan Al-Qur’an dan hidayah yang terkandung dalam komposisinya sebagaimana telah ditangkap oleh Nabi Muhammad SAW.
Pandangan al-Khuli ini yang kemudian dikembangkan oleh Nashr Hamid Abu Zayd. Dia berpandangan bahwa studi Al-Qur’an haruslah dikaitkan dengan studi sastra dan studi kritis. Studi tentang Al-Qur’an sebagai sebuah teks linguistik meniscayakan penggunaan studi linguistik dan sastra. Untuk melakukan proyek ini dia mengadopsi teori-teori mutakhir dalam bidang linguistik, semiotik dan hermeneutika dalam kajiannya tentang Al-Qur’an.
Hassan
Hanafî (lahir 1935 M.) mengintrodusir sebuah hermeneutik Al-Qur’an yang spesifik, temporal, dan realistik. Menurutnya, hermeneutik Al-Qur’an haruslah dibangun atas pengalaman hidup di mana penafsir hidup dan dimulai dengan kajian atas problem manusia. Interpretasi haruslah dimulai dari realitas dan problem-problem manusia, lalu kembali kepada Al-Qur’an untuk mendapatkan sebuah jawaban teoretis. Dan jawaban teoretis ini haruslah diaplikasikan dalam praksis. Teori
Hanafî ini didasarkan pada konsep
asbâb al-nuzûl yang memberikan makna bahwa realitas selalu mendahului wahyu.
Dalam hermeneutik Al-Qur’an semacam ini, ilmu-ilmu sosial kemanusiaan serta unsur triadik (teks, penafsir dan audiens sasaran teks) menjadi demikian signifikan. Suatu proses penafsiran tidak lagi hanya berpusat pada teks, tetapi juga penafsir di satu sisi dan audiens di sisi lain.
Dalam konteks problem sosial kemanusiaan, model pembacaan kitab suci yang ditawarkan oleh Hassan Hanafi di atas sungguh menarik. Sebab sejauh ini, pembacaan kitab suci dalam sejarahnya yang amat panjang, tampak masih terasing dari realitas dan problem-problem sosial kemanusiaan. Pada sisi lain, teks kitab suci menjadi pusat dan sekaligus pemegang otoritas. Yang berkuasa di dalam menentukan suatu paradigma adalah teks, ukuran untuk menyelesaikan problem-problem kehidupan masyarakat adalah teks. Problem sosial, politik, ekonomi dan kemanusiaan, selalu dikembalikan (sebagai bentuk penyelesaian) kepada teks kitab suci. Kerangka berpikirnya tentu bersifat deduktif yang berpangkal pada teks dan realitas harus sesuai dan tunduk kepada teks. Maka, tafsir sebagai metode pembacaan kitab suci dengan demikian masuk di dalam lingkaran “peradaban teks”. Ia sangat lekat, meminjam pemetakan Mohamed Abied Al-Jabiri, dengan
al-`aql al-bayânî atau yang oleh Mohamed Arkoun dimasukkan ke dalam
al-`aql al-lâhûtî—sama halnya dengan Kalam, Fikih, Falsafah dan tasawuf, dalam
mainstream tradisi keilmuan Islam tradisional.
Dalam lingkaran peradaban teks tersebut, sejarah perkembangan tafsir dalam konteks nalar formatifnya, secara umum setidaknya berkisar pada dua pendulum besar.
Pertama, nalar teosentris. Yaitu penafsiran kitab suci yang dominan memusatkan diri pada tema-tema ketuhanan. Tuhan harus disucikan, diagungkan dan tentu dibela. Maka, ketika bicara mengenai masalah keadilan, maka keadilan yang dimaksud adalah keadilan Tuhan. Ketika bicara soal kasih sayang, maka konteksnya selalu ditarik dalam pengertian kasih sayang Tuhan. Ketika bicara soal kekuasaan dan kebebasan, maka yang muncul adalah kekuasaan dan kebebasan Tuhan. Begitulah seterusnya. Dalam konteks nalar tafsir yang demikian, Tuhan telah diletakkan sebagai subyek yang tampak dirundung banyak masalah, sehingga harus dibela dan diperjuangkan dalam kehidupan umat manusia. Para mufasir dengan segala kemampuannya tampil untuk membela-Nya. Itulah akhirnya, tafsir menjadi bersifat sangat teosentris.
Membesarkan, mensucikan dan mengagungkan Tuhan memang suatu kesadaran yang logis di dalam syariat agama. Namun, bila kemudian sikap ini menyingkirkan kajian atas problem-problem kemanusiaan, maka wacana tafsir hanya dikembangkan dalam mainstream pembelaan dan pengagungan Tuhan. Al-Qur’an dan penafsirannya, akhirnya hanya dipersembahkan untuk Tuhan. Padahal, seperti kita tahu, Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi kehidupan umat manusia di dunia ini, bukan untuk Tuhan. Al-Qur’an merupakan inspirasi gerakan pembebasan dalam struktur masyarakat yang menindas, rasis dan ahumanis, bukan sebatas praktik-praktik ritual sebagai bentuk pengagungan Tuhan.
Tafsir era klasik sangat didominasi dengan model tafsir teosentris ini. Polemik di kalangan para teolog Muslim—seputar masalah sifat dan perbuatan Tuhan: apakah manusia bisa melihat-Nya secara langsung kelak di surga, apakah Tuhan mempunyai tangan seperti manusia, Kalam Allah makhluk atau tidak, dan seterusnya—telah mewarnai dengan kental wacana tafsir pada masa itu. Para teolog memperdepatkan masalah-masalah di seputar eksistensi Tuhan. Muktazilah yang sering dianggap sebagai aliran rasionalisme di dalam Islam, pada kenyataannya rasionalisme mereka itu hanya untuk membela keagungan dan kesucian Tuhan, bukan membela problem-problem sosial kemanusiaan yang dihadapi umat Islam pada saat itu. Secara praksis, tafsir saat itu telah mengabaikan persoalan-persoalan sosial kemanusiaan serta menjadi kehilangan spirit pembebasan dalam mengurai problem sosial kemanusiaan tersebut.
Yang
kedua, nalar tafsir ideologis. Yakni pembacaan atas kitab suci yang telah berorientasi pada problem-problem manusia, tetapi masih bersifat abstrak dan intelektualis, tidak substansial dan tidak mengacu secara langsung pada problem kemanusiaan yang dihadapi umat. Tafsir ideologis ini berkutat pada pengukuhan atas paham, aliran dan madzhab tertentu, baik itu dalam konteks fikih, teologi maupun tasawuf. Tafsir ideologis ini tidak hanya bersifat teosentris, tetapi yang tampak dominan adalah membela aliran dan madzhab tertentu yang berkembang di dalam sejarah umat Islam. Nalar tafsir ini secara tendensius membela aliran dan keyakinan tertentu yang hidup di dalam masyarakat Islam. Maka, muncullah aliran tafsir Sunni, tafsir Syi`ah, tafsir Muktazilah, begitu juga dalam konteks hukum, muncul tafsir yang membela madzhab-madzhab fikih.
Misalnya, kalangan Syi’ah memaknai surah Al-Ra
hmân: 19-22,
marajalbahraini yaltaqiyân, bainahumâ barzakhullâyabghiyân, fabiayyiâlâirabbikumâ tukadzdzibân, yakhruju minhumal lu`lulu wal marjân—Dia memberikan dua lautan mengalir, yang keduanya kemudian bertemu antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui. Dari keduanya keluar mutiara dan marjan”, dua lautan dimaknai dengan Ali dan Fatimah; barzakh (batas) adalah Muhammad; mutiara dan marjan adalah Hasan dan Husain.
Al-Qusyairi menakwilkan ayat yang sama sebagai berikut: Allah menjadikan dua lautan hati, yaitu lautan
khauf dan lautan
rajâ’. Mutiara dan marjan adalah kondisi psikologis dan rahasia-rahasia spiritual kaum sufi.
Nalar tafsir ideologis maupun teosentris telah terjadi sangat lama dalam sejarah umat Islam, dan melapuk di dalam sistem kesadaran mereka. Dalam rentang waktu yang lama tersebut, tafsir ideologis telah memunculkan pertarungan ideologi dan pertarungan madzhab, baik di dalam bidang teologi, fikih, filsafat maupun tasawuf. Mereka saling rebut ayat kitab suci lalu ditafsirkannya secara ideologis, untuk mengukuhkan paham-paham mereka. Akhirnya, yang muncul adalah apa yang disebut Nashr
Hâmid Abû Zayd sebagai
qirâ’ah al-mughridhah atau tafsir ideologis (
talwîn).
Orang membaca Al-Qur’an secara tendensius, diletakkan dalam kerangka ideologi yang telah dibangunnya terlebih dahulu, tanpa mempunyai pijakan epistemologis yang kuat terhadap gagasan pokok kitab suci. Sehingga, yang tampak seakan-akan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang pro aliran Qadariah dan pada sisi lain ada ayat-ayat yang pro aliran Jabariah.
Fakta ini di dalam sejarah bukan hanya akan menampilkan Al-Qur’an dalam kerangka yang ambigu, tetapi bahkan yang lebih telak, menjadikan Al-Qur’an kehilangan
elan vital-nya di dalam mengurai dan mencari penyelesaian atas problem-problem kehidupan dan sosial umat manusia.
Meski kedua nalar tafsir tersebut telah berlangsung lama dalam sejarah umat Islam, tetapi tidak memberikan sumbangan penting terhadap proses humanisasi di tengah problem riil masyarakat Muslim, karena keduanya tidak mempunyai konsern dan tidak terkait langsung dengan proses formasi sosial. Peran yang diambilnya, bila kita merujuk pada tradisi fikih yang selama ini telah terbentuk, sebatas pada masalah kontrak sosial antarindividu, belum masuk ke ranah bangunan sistem sosial, politik dan kekuasaan yang membentuk formasi sosial.
Problem Kemanusiaan sebagai Lokus Tafsir
Kitab suci Al-Qur’an memang bersifat interpretatif. Sebagian umat Islam sering berdebat pada perbedaan interpretasi, seperti yang terlihat di dalam dua nalar tafsir di atas. Tapi, kita sadar bahwa problem umat Islam sekarang bukan sekadar problem interpretasi, tetapi lebih riil, kita sekarang sedang menghadapi suatu realitas sosial yang menindas, timpang, dan tidak manusiawi: terjadi ketidakadilan relasi antara laki-laki dan perempuan, kemiskinan, kebodohan, terpuruknya kaum petani, nelayan, dan buruh, serta masalah-masalah sosial yang lain.
Untuk menghadapi problem-problem sosial yang akut tersebut, pertanyaan mendasar sekarang adalah bagaimana secara konseptual tafsir mesti dibangun? Melampaui dua nalar tafsir di atas—yang tidak punya fungsi di dalam menghadapi problem-problem sosial yang sedang dihadapi umat Islam—maka kita mesti mengarahkan lokus penafsiran teks kitab suci Al-Qur’an, pertama-tama ke arah problem-problem sosial kemanusiaan. Namun, pilihan langkah ini bukan tanpa masalah. Sebab, bergumul dengan kitab suci, kita selalu dihadapkan dengan suatu kepercayaan umat Islam yang sangat kuat bahwa Al-Qur’an seabadi Tuhan sendiri, ia ada selama Tuhan ada. Kita pun bertanya, mana yang lebih dahulu, firman atau umat manusia? Bukankah firman diwahyukan Tuhan kepada umat manusia? Lalu, dari mana kita mesti memulai usaha penafsiran Al-Qur’an: dari teks atau konteksnya, di tengah problem sosial kemanusiaan sekarang ini? Inilah pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh Farid Esack. Dia menghadapi dan mengalami langsung suatu problem kemanusiaan, berupa rezim Apartheid di Afrika Selatan dan eksklusivisme beragama yang terjadi di tanah kelahirannya. Dia pun kemudian bersikap tegas: memilih hermeneutika pembebasan dan pluralisme untuk menghidupan firman Tuhan di bumi kelahirannya.
Nah, bila lokus pembahasan kita adalah problem sosial kemanusiaan, maka tafsir
menjadi penting untuk digerakkan ke arah praksis kehidupan sosial umat.
Jadi, orientasi nalar tafsir tidak lagi bersifat teosentris atau pun ideologis, tetapi bersifat antroposentris.
Tafsir yang memilih lokusnya pada problem kemanusiaan dan praktik pembebasan inilah yang oleh Masdar F. Mas’udi diistilahkan dengan nalar tafsir emansipatoris.
Pilihan istilah emansipatoris, menurutnya tidak lepas dari sejarah teori kritis. Dalam kritisisme ada dua elemen.
Pertama, perhatian realitas material, yaitu sebuah pemikiran yang mempertanyakan ideologi hegemonik yang bertolak pada kehidupan riil dan material atau mempertanyakan hegemoni yang bertolak pada realitas empirik.
Kedua, visi struktur (relasi-relasi), baik relasi kekuasaan dalam dunia produktif (majikan-buruh), maupun relasi hegemonik, dalam hubungan pemberi dan penerima narasi (ulama-umat), maupun relasi politik (penguasa-rakyat).
Karena mengacu dan bertitik tolak pada realitas problem kemanusiaan kontemporer, maka tafsir emansipatoris ini paradigmanya bukan lagi terpaku pada pembelaan terhadap Tuhan—karena memang Tuhan tak butuh pembelaan kita—tetapi yang lebih utama adalah secara praksis membangun komitmen terhadap berbagai problem sosial kemanusiaan. Komitmen ini diwujudkan dalam bentuk aksi sosial dalam rangka membangun dan menegakkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan. Sehingga, gerakannya ke arah praksis pembebasan manusia; bukan dari kungkungan dogmatisme maupun ideologi, tetapi dari struktur sosial politik yang menindas, yang dengan transparan telah memunculkan kemiskinan, kebodohan, marjinalisasi perempuan, dan problem-problem sosial lain. Tafsir emansipatoris dengan demikian, berikrar menghidupkan
elan vital gerakan sosial yang bergerak pada problem-problem sosial kemanusiaan. Secara integral, tafsir emansipatoris tidak berhenti pada pembongkaran teks, tetapi teks dijadikan sebagai sarana pembebasan. Sebab, realitas dominasi tidak hanya pada wilayah wacana, tetapi juga dominasi bersifat riil dan materiil.
Dan kita sepenuhnya sadar bahwa peran Al-Qur’an adalah sinar bagi sistem kehidupan yang adil, beradab dan berperikemanusiaan.
Kita patut bangga, orang menuntut agar Al-Qur’an dijadikan sebagai referensi moral dan daya gugah. Namun, di tengah riuhnya tuntutan tersebut, muncul ambivalensi: yaitu intensitas ritual keagamaan menjadi sangat romantik dan marak, namun dalam kehidupan sehari-hari belum mampu melahirkan kesalehan diri, apalagi kesalehan sosial. Kehidupan beragama tampak meriah dalam rutinitasnya, namun tanpa disertai dengan keprihatinan dan tanggung jawab sosial. Maka yang terlihat, agama hanya sebatas sebagai medan penyelamatan personal, tidak sebagai keberkahan sosial. Tuhan, dengan sifat kasih dan sayangnya, tidak (di)hadir(kan) dalam ruang problem sosial. Padahal, agama tanpa tanggung jawab sosial, kata Muslim Abdurrahman, sama artinya dengan pemujaan belaka. Sebab, hanya dengan tanggung jawab sosial, agama dengan semangat profetisnya akan terintegrasikan dengan problematika sosial yang nyata. Di dalam problem sosial itulah seseorang justru akan menemukan basis ketakwaannya dalam bentuk praksis solidaritas sosial kemanusiaan.
Inilah makna juga yang dimunculkan oleh Ali Asghar Engineer dalam rumusan teologi pembebasannya.
Merajut Wahyu dengan Ilmu-ilmu Sosial
Dalam konteks terjadinya ambivalensi tersebut, tafsir yang secara metodologis selama ini hanya berada dalam lingkaran
islamic studies yang kental dengan nalar teosentris (
al-`aql al-lâhûtî), maka meniscayakan adanya kebutuhan terhadap ilmu-ilmu sosial. Maka, tafsir tidak lagi dikungkung dalam peradaban teks, tetapi mesti dirajut dengan peradaban ilmu (
science) yang oleh Arkoun disebut sebagai
al-`aql al-târihî wa `ilmiy. Sebab, memahami fenomena dan problem sosial yang dihadapi manusia kontemporer sangat terkait dengan ilmu budaya, yang mengungkap masalah yang terkait dengan ide dan nilai yang dianut di dalam kelompok masyarakat; dan ilmu sosial yang terkait dengan sistem dan interaksi kelompok di dalam masyarakat. Untuk mengetahui dan mengurai problem sosial kemanusiaan di tengah masyarakat, kita bukan menggunakan analisis kerohanian yang abstrak, seperti yang selama ini lebih sering terjadi, tetapi haruslah dengan menggunakan kacamata analisis sosial. Hal ini penting untuk merumuskan pemahaman keagamaan mengenai problem kemanusiaan, merefleksikannya secara kritis, menteoritisasikan dalam bentuk perubahan, dan aksi perubahan itu sendiri.
Salah satu contoh adalah ketika orang menguraikan masalah kemiskinan. Kemiskinan merupakan suatu hal yang dibenci di dalam agama Islam. Tindakan menelantarkan kaum miskin, oleh agama Islam juga dipandang sebagai tindakan yang tidak etis. Namun, sebagian orang seringkali menggunakan analisis kerohanian di dalam mengurai dan menjelaskan problem kemiskinan, yakni dikaitkan dengan soal kualitas ketakwaan umat yang lemah. Lemahnya ketakwaan inilah yang diklaim sebagai penyebabnya. Diagnosa seperti ini jelas membingungkan. Kita tahu bahwa masalah kemiskinan merupakan masalah sosial dan kongkret, namun penyebabnya tiba-tiba dengan mudah dituduhkan pada soal ketakwaan yang abstrak. Kita tahu bahwa sekarang ini mesjid didirikan di mana-mana—Pak Harto bahkan pernah membuat proyek mesjid Pancasila di seluruh Indonesia—, acara pengajian diselenggarakan di berbagai tempat, acara santapan rohani bahkan telah menjadi trend dalam dunia entertaint, tapi toh kenyataannya kemiskinan justru semakin kuat melilit umat Islam.
Nah, kita pun akan bertanya kembali agak lebih keras: apa sesungguhnya penyebab kemiskinan dan bagaimana cara penyelesaiannya? Diagnosa dengan jalan kerohanian di atas, tampaknya memang tidak relevan, atau bahkan memang keliru. Sebab, kemiskinan lebih merupakan problem sosial. Sebagai problem sosial, maka masalah kemiskinan akan terlihat jelas faktor-faktor penyebabnya, bila dilihat dengan analisis sosial. Pada kenyataannya, penyebab kemiskinan bukan hanya soal ketakwaan—yang abstrak tersebut, tetapi menyangkut struktur relasi sosial di masyarakat yang timpang. Maka, di sini akan terlihat bahwa kemiskinan terjadi bisa disebabkan karena adanya monopoli ekonomi yang dilakukan oleh kalangan konglomerat, kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh penguasa yang tidak memihak kepada kepentingan masyarakat umum, dan atau bisa juga tidak adanya sikap dinamis dan progresif di kalangan umat itu sendiri.
Dalam konteks ini, maka penyelesaian masalah kemiskinan, tentu tidak cukup dengan pendekatan kerohanian yang abstrak—lewat adagium-adagium yang tampak religius, seperti sabar, tawakal, lapangdada menerima takdir Tuhan, dan seterusnya. Penyelesaian semacam ini jelas hanya akan menyesatkan dan mengasingkan agama serta kitab sucinya dari problem riil yang dihadapi umat manusia. Agama hanya jadi opium bagi pemeluknya. Nah, ilmu-ilmu sosial dalam tafsir emansipatoris dapat membantu kita di dalam mendiagnosa dan memahami problem sosial kemanusiaan yang dihadapi umat manusia tersebut.
Dalam contoh kasus kemiskinan di atas, kita bisa mengurainya dari kasus perkasus. Bila kemiskinan disebabkan oleh adanya monopoli di kalangan kongklomerat dengan menguasai sentra-sentra ekonomi, maka penyelesaiannya adalah perlu adanya sistem distribusi ekonomi yang adil, baik dalam bentuk pembayaran pajak maupun membangun jaringan kerja antara industri kecil dan kalangan konglomerat, sehingga kekayaan tidak akan hanya berputar di kalangan konglomerat saja. Yang kedua, bila kemiskinan disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah yang tidak adil, yang justru berpihak pada pengusaha besar, maka dalam faktor ini harus ada kritik struktural terhadap pemerintah di dalam pembuatan kebijakan-kebijakannya terkait dengan masalah-masalah ekonomi. Dan yang ketiga, bila masalah kemiskinan terjadi disebabkan oleh tidak produktifnya masyarakat di dalam menjalani hidup, maka perlu adanya penyadaran tentang perlunya semangat hidup yang dinamis dan progresif dengan berbagai pelatihan dan pengembangan skill.
Analisis semacam ini bisa terjadi tidak lepas dari bantuan ilmu-ilmu sosial. Dengan memanfaatkan ilmu-ilmu sosial, penafsir kitab suci Al-Qur’an akan mampu menemukan dan mengurai problem-problem sosial kemanusiaan, bukan dengan model penyelesaian kerohanian, tetapi dengan analisis sosial dan kultural. Merefleksikan problem-problem tersebut secara sosial, moral, dan teologis, lalu menteoritisasikan perubahan sebagai landasan aksi pembebasan.
Tafsir Bersifat Spesifik dan Praksis
Maka, tafsir emansipatoris, secara konseptual menempatkan Al-Qur’an dalam ruang sosial di mana penafsir berada, dengan segala problematika kehidupannya, sehingga sifatnya tidak lagi terkait dengan sosio-kultural kearaban dan abstrak—yang sebagiannya secara tradisional terekam di dalam
asbâb al-nuzûl—tetapi bersifat spesifik dan praksis yang dikaitkan langsung dengan problem-problem sosial kemanusiaan yang dihadapi masyarakat, pada saat di mana proses tafsir tersebut dilakukan.
Kasus yang dialami oleh Farid Esack yang kemudian dia membangun hermeneutika pembebasan dan pluralisme, dan Amina Wadud Muhsin yang membangun hermeneutika kesetaraan jender, adalah dua contoh yang baik dalam masalah tersebut.
Dalam kerangka ini, kita harus mampu mengubah pandangan “normatif” atas teks kitab suci Al-Qur’an menjadi rumusan “teoretis” (teori ilmu).
Misalnya, dalam memahami ayat-ayat tentang orang fakir miskin, secara tekstual seringkali kita hanya melihatnya sebagai kelompok yang harus dikasihani dan berhak menerima zakat-sedekah (Qs. Al-Taubah [9]: 60) dan sebagai peminta-minta yang tidak boleh dihardik (Qs. Al-Dhuha [93]: 10). Dengan pendekatan teoretis (meminjam teori-teori sosial), sebagaimana dicontohkan di atas, kita akan mengetahui kalangan fakir miskin secara lebih real, lebih faktual, sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi dan kultural.
Penafsiran Al-Qur’an, di sini lalu pertama-tama bersifat
exegesis, yaitu mengeluarkan wacana dari Al-Qur’an (
reading out) dan kemudian
eisegesis, yaitu memasukkan wacana ‘asing’ ke dalam Al-Qur’an (
reading into).
Mengeluarkan wacana dari Al-Qur’an maksudnya adalah merumuskan masalah-masalah moral sosial di dalam Al-Qur’an. Misalnya, soal kemiskinan, kebodohan, jender, rasialisme, diungkap dari dalam teks kitab suci Al-Qur’an. Kemudian, secara teoretik konseptual, problem-problem tersebut direfleksikan secara kritis dengan menggunakan analisis ilmu-ilmu sosial. Dengan cara inilah, problem-problem sosial kemanusiaan tersebut bisa diurai secara komprehensif, praksis dan riil. Dan di sinilah kita akan menemukan
elan pembebasan Al-Qur’an.
Ketika kita mendengarkan suara adzan yang dikumandangkan, sebagai norma religius, kita bukan sekadar perlu mendengarkannya. Tetapi, juga harus merefleksikannya ke dalam norma sosial. Panggilan suci yang mengagungkan Tuhan tersebut, secara implisit dalam konteks norma sosial dan historis, menurut Raof Khoury, berarti: berilah sanksi kepada para lintah darat yang tamak! Tariklah pajak dari mereka yang menumpuk-numpuk kekayaan! Sitalah kekayaan para tukang monopoli yang mendapatkan kekayaan dengan cara mencuri! Sediakanlah makanan untuk rakyat banyak! Bukalah pintu pendidikan lebar-lebar dan majukan kaum wanita….berikan kebebasan, bentuklah majelis syura yang mandiri dan biarkan demokrasi yang sebenar-benarnya bersinar.
Dari Praksis ke Refleksi
Proses tersebut menjadikan gerakan tafsir tidak lagi bersifat
top-down, yang berangkat dari refleksi (teks) ke praksis (konteks), tetapi sebaliknya bersifat
bottom up, yaitu dari bawah ke atas: dari praksis (konteks) menuju refleksi (teks). Dengan pandangan yang demikian, pengertian “konteks” teks kitab suci tidak hanya dilihat dalam konteks struktur teks (
siyâq al-kalâm), juga tidak hanya dalam pengertian konteks di mana teks tersebut diturunkan (
siyâq al-tanzîl). Namun, pengertian konteks juga dipahami dalam ruang sosial budaya di mana penafsir hidup dengan pengalaman budaya, sejarah dan sosialnya sendiri. Sebab, pada saat itu, penafsir tidak hanya berhadapan dengan teks kitab suci, tetapi dia juga—dan ini yang lebih penting—berhadapan dengan realitas sosial, sebagai teks sosial yang selalu hidup dan berkembang.
Dalam kerangka ini, pemahaman atas konsep asbâb al-nuzûl bukan hanya dalam pengertian tradisional yang selama ini dipahami—yaitu sebab turunnya ayat Al-Qur’an yang diriwayatkan para sahabat dari Nabi Saw—tetapi secara konseptual juga dalam pengertian problem dan realitas kultural, sosial, ekonomi dan politik pada saat ayat diturunkan. Dengan cara yang demikian ini, kita bisa mengurai problem kultural, sosial, ekonomi dan politik yang terjadi di masyarakat Arab saat Al-Qur’an diturunkan dengan analisis ilmu-ilmu sosial. Lalu, dikaitkan dengan problem-problem sosial, ekonomi dan politik yang terjadi di tengah kehidupan penafsir saat ini. Di sinilah, secara komprehensif kita akan merumuskan mengenai problem kemanusiaan dan cara menyelesaikannya.
Dengan demikian, hal yang mendasar dalam tafsir emansipatoris adalah mengenai tujuan dari penafsiran. Di sini, sebagaimana dalam hermeneutika pembebasan Hassan Hanafi, Al-Qur’an dipahami secara spesifik, tematik, dan temporal. Penafsiran Al-Qur’an haruslah berdasarkan atas pengalaman hidup di mana penafsir hidup dan dimulai dari kajian atas problem-problem manusia yang muncul pada saat itu. Sebab, pada dasarnya, realitas mendahului wahyu, sebagaimana yang kita lihat dalam konsep
asbâb al-nuzûl. Maka, interpretasi haruslah bertolak dari realitas, lalu kembali kepada wahyu yang secara teoretis sebagai sinar pembebasan, dan kemudian harus berujung pada tindakan praksis.
Maka, dalam kasus ini kita harus mengubah pemahaman atas tema-tema pokok dalam Al-Qur’an yang “a-historis” menjadi “historis”. Misalnya, selama ini, kisah-kisah dalam Al-Qur’an dipahami secara a-historis. Padahal, maksud Al-Qur’an mengisahkan cerita tersebut agar kita berpikir historis. Misalnya, kisah tentang penindasan Fir’aun terhadap bangsa Israel, hanya dipahami pada konteks zaman itu. Padahal, kaum yang tertindas ada di sepanjang zaman, termasuk saat ini, saat kita hidup. Penyembahan berhala yang dilakukan oleh kaum Nabi Ibrahim, bukan hanya terjadi pada saat itu, tetapi juga terjadi di sepanjang zaman. Bahkan, berhala-berhala pada era sekarang semakin berkembang; misalnya berhala itu dalam bentuk kekuasaan, kapital, pemikiran dan yang lain.
Setelah itu, dalam konteks memahami dasar-dasar tindakan moral juga mesti diubah: dari cara berpikir “subjektif” ke arah cara berpikir “objektif”. Misalnya, konsep moral tentang tujuan menunaikan zakat, Al-Qur’an menegaskan sebagai “pembersihan” harta dan jiwa kita (Qs. Al-Taubah [9]: 103), atau dalam konteks ancaman. Misalnya adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “
Mâ min shahibi kanzin la yuaddî zakâtahu illâ uhmia `alaihi fî nâri jahannama, fayuj`alu shafâ’iha fatukwâ bihâ janbahu wa jabhatuhu—
seseorang yang menyimpan hartanya, tidak dikeluarkan zakatnya, akan dibakar dalam neraka jahanam. Baginya akan dibuatkan setrika dari api, lalu dipakai menyetrika lambung dan dahinya.”
Jelas, perintah itu arahnya adalah sisi subjektif. Tetapi, sisi objektif tujuan penunaian zakat adalah demi kesejahteraan sosial. Dari arah objektif inilah lalu bisa kita kembangkan pada kasus-kasus yang lain, seperti larangan menumpuk kekayaan, menghardik orang miskin dan menyia-nyiakan anak yatim.
Terkait dengan ini, formulasi wahyu yang bersifat “umum” mesti dipahami dalam konteks “spesifik” dan “empiris”. Misalnya, Al-Qur’an mengecam orang-orang yang menumpuk-numpuk kekayaan secara pribadi sehingga kekayaan berputar hanya di kalangan kaum kaya. Kita perlu mengartikan pernyataan wahyu tersebut pada pengertiannya yang spesifik dan empiris. Ini berarti kita mesti menerjemahkan pernyataan itu ke dalam realitas sekarang, yaitu adanya monopoli dan oligopoli dalam kehidupan ekonomi dan politik; adanya penguasaan kekayaan oleh kalangan tertentu di lingkungan elite yang berkuasa. Dan juga memahami wahyu yang bersifat “individual” ini ke arah yang “struktural”. Dalam contoh kasus di atas, kekayaan yang hanya memusat pada satu orang atau kelompok, sesungguhnya bukanlah semata-mata masalah individual tetapi juga menyangkut masalah struktural, yaitu kebijakan-kebijakan yang tidak membela kepentingan rakyat kecil.
Penutup
Dari uraian di atas, terlihat bahwa tafsir emansipatoris memperlakukan teks kitab suci dalam ruang refleksi kritis sekaligus diaplikasikan dalam ranah praksis, bukan hanya secara moral tetapi juga struktural. Di sini, teks kitab suci digunakan sebagai alat untuk mempertajam kesadaran nurani dalam melihat, mempersepsikan dan sekaligus memecahkan problem-problem sosial kemanusiaan. Prinsip interpretasi atas teks kitab suci, di sini secara linguistik haruslah bersifat komprehensif dan filosofis. Dan dalam konteks praksis, teks kitab suci secara etik pembebasan harus terrefleksikan dalam kehidupan umat manusia.
Cara memahami wahyu sebagaimana diuraikan di atas akan mampu mengungkap signifikansi yang implisit di dalam teks Al-Qur’an, yang tak terkatakan di dalam struktur wacana teks. Kita akan mampu memunculkan tema-tema sosial yang selama ini menjadi problem sosial masyarakat dan belum diangkat dengan tegas di dalam wacana tafsir secara komprehensif dengan basis ilmu sosial. Maka, tafsir emansipatoris bukan hanya mengurai masalah ketidakadilan, deskriminasi jender, pembebasan umat yang tertindas, baik secara ekonomi, politik, maupun ras. Tetapi, tafsir emansipatoris juga akan membuka pintu dalam pembahasan masalah korupsi, suap, money politics, hibah kepada pejabat, kolusi, nepotisme, perburuhan, petani, nelayan dan masalah-masalah sosial lainnya, sekaligus bagaimana gerakan penyelesaiannya.
Semuanya ini tentu membutuhkan kesadaran kita, bahwa teks kitab suci bukanlah satu-satunya alat dalam mencerahkan kemanusiaan, tetapi ia juga membutuhkan ilmu-ilmu lain di dalam mengurai problem kemanusiaan yang terus berkembang. Sebab, mesti disadari bahwa teks apa pun, termasuk teks Al-Qur’an, tidak dapat membangun dan menegakkan peradaban manusia secara sendirian. Yang membangun dan menegakkan peradaban manusia sesungguhnya adalah proses dialektika manusia dengan realitas di satu pihak, dan dengan Al-Qur’an di pihak yang lain.
Bertemu Tuhan tidak harus di tempat-tempat suci atau menghitung tasbih sambil melafalkan nama-nama-Nya, tetapi juga perlu dilakukan di ruang-ruang sosial: menolong orang yang tertindas, mengentaskan orang miskin dari jurang kemiskinan, membebaskan masyarakat dan kebodohan. Karena memang demikian inilah iman dipraksiskan.[]
DAFTAR PUSTAKA
Arkoun, Mohamed. al-Fikr al-Ushûlî wa Istihâlah al-Ta’shîl, Beirut: Dar al-Saqi, 2002.
Brenner, Louis (ed.), Muslim Identity and Social Change in Sub-Saharian Africa, 1993.
Mas’udi, Masdar F. “Rekonstruksi Al-Qur’an di Indonesia”, Makalah yang dipresentasikan pada acara Semiloka FKMTHI di gedung PUSDIKLAT Muslimat NU, Pondok Cabe, Jakarta Selatan, 2003.
Mohamed Arkoun, al-Fikr al-Ushûlî wa Istihâlah al-Ta’shîl (Beirut: Dar al-Saqi, 2002), h. 308.
Louis Brenner (ed.), Muslim Identity and Social Change in Sub-Saharian Africa, 1993, h. 5-6).