Dalam agama Kristen, konsep Allah jauh lebih problematis. Ini disebabkan adanya konsep “Trinitas” yang hingga hari ini menjadi ‘teka-teki silang’ yang tak berujung.
Seorang penulis Kristen Koptik (Qibti), Arab-Mesir, Nashrullah Zakariya menulis satu buku yang berjudul al-Tsâlûts fî al-Masîhiyyah: Tawhîd am Syirkun bi’l-Lâh? (Trinitas dalam Kristen: Monoteis atau Syirik?), menulis, jika konsep keimanan kepada Allah terjadi lewat ‘advertensi Tuhan’ (al-I‘lân al-Ilâhiy). Tanpa ini, manusia tidak bisa mengenal Allah. ‘
Menurutnya, advertensi Tuhan’ ini terjadi lewat dua cara: Pertama, ‘advertensi umum’ (al-i‘lân al-‘âm). Ini adalah advertensi yang dengannya Allah menyingkap diri-Nya lewat dua hal: (1) Alam. Tentang ini, wahyu yang kudus (al-wahyu al-muqaddas) mencatat: “Langit menyatakan, keagungan Allah dan cakrawala mewartakan karya-Nya” (Mazmur 19: 1-2); dan (2), sejarah. Maksud dari sejarah adalah: berbagai interaksi Allah dengan manusia lewat pengalaman historiknya. Kitab suci menyatakan, “Ia tidak lupa memberi bukti-bukti tentang diri-Nya...” (Kisah Rasul-Rasul 14: 17).
Kedua, ‘advertensi khusus’. Jenis ini memiliki dua sumber: (1) tajassud (bersatunya Allah dengan Yesus, inkarnasi): dimana Allah mengenalkan diri-Nya kepada kita secara jelas dan eksplisit lewat inkarnasi (tajassud) Kristus.
Di dalam Injil, Yohanes berkata: “Pada mulanya adalah ‘Firman’. Dan firman itu bersama Allah, dan firman itu adalah Allah. Firman sudah menjadi manusia, Ia tinggal di antara kita dan kita sudah melihat keagungan-Nya, seperti yang ada pada seseorang berasal dari seorang ayah, yang penuh dengan karunia dan kebenaran” (Yohanes 1: 1-15, rujuk Ibrani 1: 1-4 dan 1 Timotius 3: 3-5); (2) firman Allah yang termaktub dan pembenar atas – eksistensi – Nya yang berasal dari Kristus.
Yesus berkata: “Janganlah kalian menganggap bahwa Aku datang untuk menghapuskan hukum Musa dan ajaran nabi-nabi. Aku datang bukan untuk menghapuskannya, tetapi untuk menyempurnakannya. Ingatlah! Selama langit dan bumi masih ada, satu huruf atau titik yang terkecil pun di dalam hukum itu, tidak akan dihapuskan, kalau semuanya belum terjadi.” (Matius 5: 17-18).
Itu lah dua bentuk ‘advertensi Tuhan’ kepada manusia menurut Nashrullah Zakariya, yang terdapat di dalam Taurat (Torah) dan Injil. Menurutnya, hal itu menyatakan bahwa Allah itu “esa” (wâhid). Tetapi, Allah juga tidak hanya ‘mengumumkan’ diri-Nya sebagai Tuhan yang esa (al-Ilah al-wahid), advertensi itu terjadi berulang-ulang dari dirinya hingga menjadi “trinitas” (tsâlûtsan).
Setelah menjelaskan itu, Nashrullah bingung dan menyatakan bahwa dogma “trinitas” dalam Kristen tidak bisa dianggap sebagai hasil studi filsafat atau konsep rasionalitas an sich. Karena hal itu menurutnya tidak mudah untuk diterima oleh akal. Sumber dogma ini menurutnya berasal dari Allah itu sendiri. Allah lah yang mengumumkan dirinya sebagai Tuhan yang memiliki tiga oknum: “trinitas” (tsâluts), bukan “trinisasi” (tatslîts). Dan dalam apologi kaum Nasrani dalam membela Allah yang trinitas itu (Allah al-tsâlûts) merupakan bukti keimanan mereka kepada Allah yang esa, seperti yang dinyatakan oleh Allah sendiri tentang diri-Nya lewat firman-firman-Nya: kitab suci.
Padahal, jika mencukupkan diri pada ayat Torah di atas, konsep Allah jelas dapat dipahami. Tapi ketika dikaitkan dengan dogma “trinitas” yang hanya ada dalam Perjanjian Baru (Injil) konsep Allah menjadi ‘kabur’.
Penulis lain, Nasyid Hana dalam “Khamsu Haqâ’iq ‘an Allah”, (cet. II, 1999) menulis bahwa ketika Allah menciptakan para malaikat, Dia mempraktekkan sebagian sifat-sifat-Nya. Dan ketika menciptakan manusia, Dia mempraktekkan sifat-sifatnya kepada manusia.
Bagaimana mungkin Allah butuh kepada makhluk-makhluk-Nya dan mempraktekkan sifat-sifatnya kepada diri-Nya?
Lebih aneh lagi, sebagaimana ditulis Nasyid Hana, “Oknum-oknum itu bukanlah bagian-bagian dalam diri Allah. Maha suci Allah. Allah tidak terdiri dari tiga oknum. Maha suci Allah, tetapi Allah itu esa, dan setiap oknum itu adalah Allah, bukan bagian dari Allah. Bapa adalah Allah, Anak adalah Allah dan Roh Kudus adalah Allah. Satu esensi tetapi tiga oknum.” Inilah konsep ketuhanan yang membingungan.
Membicarakan “oknum” saja dalam agama Kristen sudah berbelit-belit, karena memang sulit dinalar oleh akal sehat. Sampai sekarang, masalah “oknum Allah” ini masih terus dibahas dan diperdebatkan hingga kini.
Akibat kebingungan ini, banyak tokoh-tokoh Kristen menyikapi dogma “trinitas” lewat ekspresi rasa ‘ketidakpuasan. St. Anselm, misalnya, harus menulis Cur Deus Homo, St. Augustine juga menulis de Trinitate dan memproklamirkan slogan: “Credo ut intellegam” (aku percaya supaya aku bisa mengerti). Senada dengan Augustine, Tertullian menyatakan: “Credo quia absurdum” (aku beriman justru karena doktrin tersebut tidak masuk akal). Ini sangat kontra dengan Islam, dimana “rasio” sangat berperan dalam mengenal dzat Allah. Apa yang bertentangan dengan akal sehat, berarti ada yang “eror” dan harus dikritisi.
Dalam Islam, Allah menciptakan makhluk-Nya agar mereka mengenal-Nya lewat nama-nama-Nya yang baik (al-asma’ al-husna), sifatnya yang transenden: yang memiliki sifat kesempurnaan dan suci dari segala kekurangan.
Ketika mereka sudah mengetahui Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana mestinya, mereka melakukan ibadah kepada-Nya, yang tidak berhak diberikan kepada selain-Nya dan tidak mendekati-Nya kecuali dengan ibadah tersebut. Mereka juga memuji Allah swt. sebagaimna mestinya, sesuai dengan kemuliaan dzat-Nya dan keagungan otoritas-Nya. Ini dengan detail dijelaskan oleh Allah swt.: “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS: Al-Thalaq [65]: 12).
Kata agar kamu mengetahui merupakan dalil bahwa tujuan dari penciptaan alam ini, baik alam atas maupun bawah; adalah untuk mengetahui Allah swt. Lengkap dengan nama dan sifat-sifat-Nya; yang dalam ayat tersebut disebutkan sebagiannya, yakni: kekuasaan total (al-qudrah al-syamilah) dan ilmu yang meliputi segala sesuati (al-‘ilm al-muhith). (Lihat, Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Fushûl fî al-‘Ibâdah bayna al-Salaf wa al-Khalaf, dalam serial Nahwa Wahdah Fikriyyah li al-‘Āmilîna li al-Islâm (6), (Cairo: Maktabah Wahbah, 2005: 14).
Dengan demikian, terdapat perbedaan yang sangat prinsipil dalam konsep “Allah” dalam Yahudi, Kristen dan Islam. Dapat dibuktikan di dalam Al-Quran dan ulama-ulama klasik, bahwa Islam lah satu-satunya agama semit yang konsisten dalam melestarikan konsep “Allah”. Konsep Allah yang ‘nasionalistik’ adalah tidak benar dan harus ditolak. Dan konsep “Allah” yang ‘membutuhkan’ perantara (mediator) adalah mencederai kekuasaan dan keagungann-Nya. Maka, Islam menutup konsep “Allah” yang Mahasempurna dan tiada banding itu dengan firman Allah swt: “Laysa kamitslihi syai’un” (Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, ) (Qs. Al-Syura [42]: 11). Wallahu a‘lamu bi al-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar