Cerpen Ahmad Zaini*
Kumandang lantunan doa  bergema dari rumah Yasak. Suara ratusan orang yang berjejal di rumah  berbahan dari bambu itu berebut khusuk menembus celah-selah dinding  rumah yang sudah lapuk. Tangis isak serta linangan air mata terus  mengalir dari para pelantun doa. Mereka sibuk mengusap air mata dengan  ujung baju atau dengan sarung untuk menahan air mata bening yang terus  mengalir. Doa-doa terus bergema diiring hembusan angin rawa yang  menembus celah dinding-dinding rumah.
Yasak, lelaki bertubuh kecil  duduk lunglai di sudut ruang. Ia melantunkan doa dengan emosi yang  sangat tinggi. Suaranya lebih keras daripada yang lain. Bahkan sesekali  dia berteriak menyebut nama orang yang dikirimi doa. Ya, nama yang  selalu disebut-sebut itu adalah nama anak pertamanya yang tujuh hari  yang lalu meninggal karena kecelakaan. Orang-orang yang kebetulan duduk  di dekatnya tak henti-henti mendekap tubuh Yasak sambil membisik,  menghibur serta menenangkannya.
Musibah demi musibah memang selalu  datang menguji kesabaran keluarga Yasak. Beberapa tahun yang lalu dia  menderita penyakit darah tinggi. Berbulan-bulan dia tidak bisa bekerja  menafkahi keluarga. Ia hanya berbaring di ranjang reot dan hanya bisa  membebankan hidupanya pada istrinya. Ketaatan istrinya merawat suaminya  yang sedang diuji Tuhan tak diragukan lagi. Dia berusaha mencarikan  biaya berobat suaminya dengan bekerja mencari ikan di rawa. Dan akhirnya  setelah tiga bulan mendapatkan perawatan medis kondisi Yasak mulai  membaik.
Kini Yasak benar-benar pulih. Dia pun bangkit bekerja  lagi untuk  menstabilkan kondisi ekonomi keluarga. Dia bekerja serabutan  asalkan mendapat penghasilan yang halal dan barokah. Dia membantu para  warga yang membutuhkan tenaganya. Dari situ dia mendapatkan penghasilkan  yang dapat digunakan untuk mengembalikan hutang biaya pengobatan selama  dia sakit. Bahkan lebih dari itu, dia dapat membeli motor sebagai  sarana transportasi jika dia harus bekerja hingga luar desanya.
Saat  ekonomi keluarga Yasak mulai berkembang, keluarga tertimpa musibah  lagi. Anak pertamanya yang ketika itu masih duduk di bangku SMP membuka  jok motornya dengan menyalakan korek api. Dia ingin mengecek kondisi  bahan bakar di tangki motor karena akan digunakan mengantarkan ibunya  menghadiri hajatan keluarga. Kontan saja korek api itu langsung  menyambar tangki sepeda motor dan menyebabkan rumah beserta isinya ludes  dilalalap si jago  merah. Kondisi ekonomi keluarga Yasak kembali  terpuruk hingga titik nol.
Para warga bergotong royong memberikan  bantuan kepada keluarga Yasak. Mereka memberikan pakaian bekas sebagai   pengganti pakaian keluarganya yang tidak tersisa lagi. Ada juga warga  yang bergotong royong mendirikan rumah dari bahan bambu sebagai tempat  berteduh Yasak dan kelurga yang ditempatinya hingga kini. Keuletan dan  kesabaran keluarga Yasak benar-benar diuji oleh Tuhan. Setelah peristiwa  kebakaran lima tahun silam sewaktu anak pertamanya masih duduk di  bangku SMP, kini Yasak lagi-lagi mendapatkan ujian yang paling berat  dalam hidupnya.
Ya, anak pertamanya yang duduk di bangku kelas 12  SMA yang sebentar lagi akan mengikuti ujian nasional mengalami   kecelakaan hingga meninggal dunia.
***
Perjuangan Yasak  memang luar biasa. Ia mampu bangkit dari keterpurukan hidup yang ia  alami. Yasak setiap malam bekerja sebagai pengemudi kereta kelinci  setiap ada gelaran pasar malam. Ia tak pernah mengeluh walaupun setiap  hari bekerja hingga larut malam.  Hanya satu yang menjadi tujuannya  yaitu menyejahterakan keluarga dan demi pendidikan anak pertamanya.  Yasak berikrar dalam hatinya, biarkan dia hanya lulusan SMP dan bekerja  sebagai pengemudi kereta kelinci setiap ada pasar malam, yang penting  jangan sampai anaknya bernasib seperti dia. “Anak kita harus  berpendidikan tinggi dan dapat hidup yang layak melebihi kita,” ucapnya  pada suatu waktu pada istrinya.
Faizin, anak pertama Yasak, memang  anak yang berbakti kepada orang tua. Ia penurut sekali. Apapun yang  diperintahkan oleh orang tuanya dia tidak pernah menolak. Bahkan setiap  kali ayahnya bekerja mengemudi kereta kelinci saat ada pasar malam, dia  tidak segan-segan menyusul ke arena pasar malam untuk membantu ayahnya.  “Jangan, Nak! Kamu di rumah saja belajar. Biar Bapak saja yang bekerja!”  kata Yasak pada anaknya. Faizin kali ini tidak bisa menerima permintaan  dari ayahnya. Dia beralasan tidak tega melihat ayahnya yang setiap  malam bekerja sendirian. Akhirnya, Yasak dengan sangat terpaksa  mengizinkan anaknya membantu pekerjaannya asalkan anaknya itu sudah  menunaikan kewajibannya sebagai pelajar.
Malam pekat dihempas  angin yang terus berhembus kencang. Perlahan-lahan gerimis pun datang  membelai arena pasar malam. Mendung menggumpal berbondong-bondong  memayungi arena pasar malam  itu. Yasak yang dibantu anaknya segera  berteduh ke emperan toko setelah menutupi kereta kelincinya dengan  terpal. Mereka duduk santai sambil bergurau menunggu hujan mereda.  Dengan kasih sayang, Yasak mendekap anak pertamanya sambil  memijit-mijiti kakinya. Ia merasa terharu pada anaknya kini telah tumbuh  menjadi remaja. Kakinya keras bagai batu ia pijit terus hingga hilang  pegal-pegal yang dirasakan anaknya.
“Sudah, Pak gantian! Sekarang  Bapak terlentang dan saya yang memijit,” kata Faizin. Yasak menuruti apa  yang diucapkan oleh anaknya itu. Dia terlentang lalu membujurkan kedua  kakinya untuk dipijit anaknya. Yasak merasakan betapa perkasa tenaga  anaknya. Pijit-pijitannya terasa sekali hingga hilang rasa  pegal-pegalnya.
Hujan masih mengguyur arena pasar malam. Ia tiada  henti mengecup wajah bumi yang hitam kelam ini. Ketika Yasak mendongak  ke atas dan melihat langit yang masih pekat, dia  lalu memutuskan  mengemasi kereta kelincinya. Ia yakin bahwa hujan malam ini tak akan  reda sampai pagi. Satu persatu kereta kelincinya dimasukkan ke lapak  dengan dibantu anaknya. Kemudian kereta kelinci sebagai sumber  penghasilan mereka selama ini yang sudah terbungkus terpal mereka  serahkan kepada tukang jasa penitipan barang di lapak itu. Mereka pun  berangkat pulang menembus jari-jari gerimis yang belum juga reda.
Faizin,  anak pertamanya berangkat dulu. Ia memacu motornya menggilas aspal yang  licin akibat diguyur hujan. Temaram lampu motornya menerpa kilauan  genangan-genangan air di depannya. Percikan genangan air itu sampai  membasahi celananya. Terkadang ia pun meliukkan motornya menghindari  samar lubang yang menganga karena tertutup oleh genangan air pula. Tubuh  anak yang baru tumbuh remaja itu  menggigil kedinginan. Kedua tangannya  yang memegang kemudi bergetar hingga kedua bibirnya pun bergetar saling  beradu. Tatapan matanya tajam menghalau gangguan cahaya lampu kendaraan  yang datang dari arah berlawanan yang menyorot wajahnya.
Sesampai  di pertigaan tempat keramain warung-warung yang berjajar di pinggir  jalan, tempat para sopir memarkirkan truk sekedar beristirahat sambil  makan malam, anak pertama Yasak ini tetap melajukan motor melintasi  jalan yang licin. Dia ingin cepat sampai ke rumah. Tanpa disadari  Faizin, di depannya ada truk parkir yang memakan sebagian bahu jalan  tanpa ada rambu apa-apa. Ia kaget dan tak mampu menghindari truk  tersebut. Motor yang dikendarai Faizin pun menghantam bagian belakang  truk  hingga tubuh Faizin terpental dan terhempas di bawah garden truk  itu. Tubuh remaja yang perkasa itu tak berdaya bersimbah darah. Luka  mengaga di bagian kaki, tangan hingga kepala. Darah segar terus mengalir  membanjiri jalan raya yang berselimut air hujan. Anyir bau darahnya  menyengat hidung para sopir dan para pengguna jalan lain yang memberikan  pertolongan. Mereka membopong tubuh anak berbakti ini beramai-ramai ke  teras warung. Salah seorang pengguna jalan yang ikut memberikan  pertolongan itu tiba-tiba berteriak histeris.
“Anakku…! Dia anakku,” kata orang tadi.
Ternyata  orang tersebut adalah Yasak, ayah kandung dari korban yang berjuang  melawan maut. “Sabar, Pak! Mungkin dia bukan anak Bapak!” ucap salah  seorang sopir yang berkerumun di situ. “Dia anakku. Itu sepeda yang  ringsek...itu sepeda anakku. Ini anakku..!” kata Yasak sambil menangis.  Wajah yang berlumuran darah dengan tangan serta kaki yang patah tiada  lain adalah anak Yasak. Anak kandungnya yang baru saja izin pulang  terlebih dahulu setelah membantunya bekerja di pasar malam.
“Ya, Allah, anakku…Anakku! Jangan mati Anakku..! Ini Bapakmu. Bangun, Nak! Buka matamu, Nak!” kata Yasak meratap.
Ratap  tangis tak berarti apa-apa karena Faizin, anak yang menjadi tumpuan dan  harapannya telah tiada.Ternyata ia hanya bisa membaktikan diri pada  orang tuanya sampai di malam itu. Di usia yang masih belia. ***  Senandung doa malam ketujuh telah selesai. Yasak dan keluarga serta  handai taulan hanya bisa berharap kemurahan dari Tuhan semoga Faizin  diberikan tempat yang layak di sisiNya serta keluarga yang  ditinggalkannya sabar dan tabah menghadapi musibah ini. “Terima kasih  semuanya! Terima kasih semuanya!” kata sambutan terakhir Yasak kepada  para keluarga serta tetangga yang sudah meluangkan waktunya ikut  mendoakan anaknya yang telah tiada dari malam pertama hingga malam  ketujuh ini.(*) Lamongan, Maret 2011
*Cerpenis adalah  penggiat sastra. Tinggal di Lamongan
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar