Kidung kahuripan
Elingo marang sing gawe urip  lan patimu sanadyan priyayi iku dadi trah sliramu sing kawit alit di  among pambayun ojo banjur gedhe sopo siro sopo ingsun
ora ono  pangkat tur drajat sing bisa mumpuni ing lelakuning diri anamung iman,  taqwa ugi luhuring budhi sing sejatining bakal dipun tampi dening Gusti  Allah ingkang maha penyipat ing sedayaning dumadi…
‘Ashar, 02 Maret 2009
Huruf
Sedari  dulu kala aku telah dititah jatuh mengisi ruasruas kosong di pelataran  luh menjumpai manusia pertama  yang menatah sejarah untuk menanamku  kedalam pangkal akar hijaiyah
Gusti, Kau lah yang memberiku mimpi bersuluk kedalam lubuk suci memeluk rahasia alif-lam-mim dengan desah lafaz cinta meninggi
maka  dari itu tak perlu aku menangis menangis menerima sayatan luka-iris  ketika tubuhku terajah sharaf-nahwu terhujah waqaf-waktu pun tergarit  membelit namanamaMu  yang wingit,  terwirid dalam lantunan cinta lidah  tajwid hingga munzil pun runduk  menjaga tartil tetap tawadu’
tak ada lagi sepi sepi yang membuatku merasa sendiri seperti saat kelahiranku pertama kali
karena  alhamdulillah,  aku bahagia ikhlas menyulam berkah bahagia ikhlas Kau  jadikan huruf kunci doa yang tak pernah luput disebut pembuka bagi  segala pintupintu ma’ruf
Jakarta, 23-24 Desember 2010 (17-18 Muharram 1432 H)
Di Tanjung Benoa
Setelah melampaui jalanan dengan barisan batu berukir sampailah perjalanan di pantai berpasir
lautan biru senyum dan tawa awakawak perahu
ada  jejak langkah bergambar kepiting dan kerang beberapa banana boad juga  kasur terbang menyemburkan percikanpercikan doa ke awan wajahwajah  merunduk menekuri tarian para ganggang roti pun segera di bagikan
lalu matahari di atas perak dermaga tuntas terhempas gelak dan ombak bergegas menepikan jarak
orangorang riuh menghitung doa dan waktu menitipkannya di kantung jantung penyu
Sanur, Desember 2010 (Muharram 1432 H)
Zikir Hujan
Oh, dengarlah zikir hujan semakin deras berderai menggetarkan lubuk sungai dan ngaraingarai
dan sehelai sajadah terkulai membalut duka yang tak kunjung lerai
lalu lihatlah pada burungburung pipit yang saling berhimpit di sarangnya yang basah dan sempit
bersembunyi dari mata petang yang mengintip dalam remang bayang
hingga dari cungkup semesta  menyeru langit menabur doa mengguratlah sebentang senja
lantas dengan apa lukaluka ini kuseka sebelum gelap datang dengan nestapa
sementara aku disini masih belum memanggil-manggil namaMu juga….
Jakarta, 07 Februari 2011 (03 Rabiul Awal 1432 H)
Tembang Mayang
Dari rambutmu yang terurai  mekarlah kuncup mungilmu hingga menjadi buah kuning menggantung hening di pangkal akar pelepahmu
di musim yang memanggilmu  dengan lambaian janur yang melengkung malu kau biarkan kuncupkuncupmu bertemu
lalu  kau pun di usung ke punggung panggung para leluhur  dimana rapalan doa  dan kidung bersuluk melebur kedalam langgam cinta paling agung
Februari 2011 (Rabi’ul Awal 1432 H)
Biodata Penulis: Lailatul Kiptiyah, lahir dan besar di Blitar kini bekerja di sebuah rumah produksi di Jakarta.
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar