Oleh: Hery Prasetyo
Cerita bersambung ini  mengambil setting saat kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Ini murni cerita  fiksi, tapi mencoba mengambil kisah salah satu dari sekian perempuan  China yang katanya menjadi korban pemerkosaan sistematis.
Seorang  pemuda yang berprofesi sebagai wartawan, berpacaran dengan gadis China.  Hubungan yang tak disetujui oleh orang tua si gadis. Namun, cinta  mereka begitu kuat. Saking kuatnya, mereka sempat akan melakukan  hubungan badan sebagai perwujudan rasa cintanya. Namun, mereka  membatalkannya demi kesucian.
Namun, kesucian itu  akhirnya dinodai oleh sekelompok orang brutal yang mengambil keuntungan  saat kerusuhan Mei 1998. Peristiwa yang menjadi pukulan berat buat kedua  kekasih itu, juga banyak pihak. Sebuah perjuangan cinta yang dipotong  oleh nafsu biadab manusia.
Bagaimana mereka  memperjuangkan cinta, peristiwa pemerkosaan, juga apa yang terjadi  setelah pemerkosaan itu, ikuti ceritanya dengan seksama, sebuah cerita  fiksi tragedi yang mencoba memotret salah satu sisi kerusuhan Mei 1998. (Red)
SATU
HARI  yang cerah di bulan Januari 1998. Padahal biasanya hujan sudah datang  di pagi hari. Meski cerah, Baskara justru malas beranjak dari tempat  tidurnya. Sebagai fotografer di sebuah media massa nasional di Jakarta,  dia berangkat ke kantor tak tentu jamnya. Kadang pagi, kadang agak  siang. Hari ini dia ingin agak puas tidurnya dan berangkat kerja siang  hari. Maklum, semalam dia harus kerja sampai larut. Dua kali panggilan  keras adiknya, Zaliany yang biasa membangunkan tidurnya, tak digubris.
“Mas  Bas, bangun! Kerja, nggak?” teriak Zaliany untuk ketiga kalinya sambil  membetulkan kancing bajunya. Dia tampak sudah rapi dan siap berangkat ke  kampus.
“Dasar bujang pemalas. Eh, sebentar lagi aku disamperin  teman kuliahku yang pernah aku ceritakan. Rugi kalau nggak kenalan  dengannya. Siapa tahu jodoh, biar nggak always jomblo,” lanjut Zaliany  yang kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Jurusan  Manajemen semester empat.
Serangkaian kalimat terakhir Zaliany itu  membuat Baskara tergoda juga dan tak kuasa melanjutkan rasa malasnya.  Dia langsung menyingkap selimut dan bersejingkat, keluar dari kamarnya.  Dia berlari mengejar adiknya yang sedang menuju meja makan untuk  bergabung dengan ayah dan ibunya, kemudian membalikkan tubuhnya agak  kasar. Acara makan keluarga hampir selalu tanpa Baskara, karena sering  bangun setelah jam sarapan usai. Atau kadang sebelumnya sudah menghilang  karena panggilan tugas. Di siang hari dan malam, dia sering makan di  jalan atau kantor.
“Eh, yang benar? Masih sendiri, nggak? Nanti  kenalin, ya. Tapi jangan terlalu norak, pakai skenario yang cerdas  sedikit,” kata Baskara tampak bersemangat.
Zaliany yang merasa  dikasari langsung cemberut dan pasang muka galaknya. “Nggak akan aku  kenalin dengan orang yang kasar seperti kamu. Terlalu sayang karena  orangnya sangat lembut,” jawabnya tegas.
“Oke, oke! Maaf, deh.  Abangmu mandi dulu, biar ganteng kayak Arjuna. Atau seperti idolamu,  David Beckham,” ujar Baskara, tampak bersemangat.
Zaliany melotot  dan siap mendamprat. Ayah dan ibu mereka hanya tersenyum melihat adegan  itu. Tapi sebelum Zaliany mengeluarkan kata-kata lebih pedas, Baskara  langsung berlari ke kamar mandi. Zaliany pun hanya bisa terpaku sambil  cemberut dan menelan kegeramannya. Baskara langsung nongkrong di atas  kloset. Ritus setiap kali dia mandi pagi. Pikirannya langsung  melayang-layang membayangkan teman adiknya tersebut.
Di depan adik  dan orangtuanya, Baskara sering slengekan. Tapi sejatinya dia pribadi  yang mandiri, dewasa, berwibawa, cerdas, pemberani, dan tenang. Dia juga  sangat pandai bergaul. Ditambah wajahnya yang ganteng dan postur tubuh  yang atletis mirip Lorenzo Lamas, banyak wanita yang menyukainya. Tapi  di sini persoalannya. Dia kadang terlalu pilih-pilih, hingga belum  pernah pacaran sejak putus dengan kekasihnya beberapa saat setelah  wisuda, tiga tahun lalu. Padahal umurnya kini sudah 27 tahun. Sudah  saatnya dia punya calon pendamping. Bahkan menikah pun sudah sangat  pantas.
Ayahnya yang seorang dosen, Prof. Dr. Sungkono, sudah  berkali-kali menanyakan kapan akan mengakhiri masa lajangnya. “Ibumu  sudah ingin menimang cucu. Apa kamu tak ingin segera menikah? Pekerjaan  sudah punya dan gajimu juga terhitung cukup. Menunggu apa lagi?”
Entah  sudah berapa kali kata-kata klise itu diucapkan kepadanya, hingga  membuatnya sering tertekan dan terbebani. Kadang menjadi risih di  telinganya. Dalam hatinya dia juga ingin segera menikah, tapi masih  belum ketemu yang cocok. Apalagi dia masih terluka oleh mantan pacarnya,  selain menginginkan wanita yang tak hanya cantik, tapi juga punya sikap  dan kepedulian terhadap kehidupan, serta budi dan kasih terhadap  sesamanya. Sebab, menurutnya, jika manusia hanya memikirkan dirinya dan  hanya mengejar kebutuhan badaniah serta kemegahan materi, dia tak lebih  dari mahluk yang tak berjiwa. Dan, dia tak ingin memiliki pasangan yang  tak berjiwa. Identitas, kehormatan, dan harga diri seseorang, pikirnya,  terletak pada sejauh mana dia punya makna terhadap orang lain,  lingkungan dan kehidupan. Itu pula sebabnya dia pilih putus dengan  kekasih terakhirnya, karena terlalu menuntut ukuran-ukuran materi hingga  dia ragu akan ketulusan cintanya.
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar