Senin, 07 Maret 2011

Mereka Memperkosa Kekasihku

Oleh: Hery Prasetyo
Cerita bersambung ini mengambil setting saat kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Ini murni cerita fiksi, tapi mencoba mengambil kisah salah satu dari sekian perempuan China yang katanya menjadi korban pemerkosaan sistematis.
Seorang pemuda yang berprofesi sebagai wartawan, berpacaran dengan gadis China. Hubungan yang tak disetujui oleh orang tua si gadis. Namun, cinta mereka begitu kuat. Saking kuatnya, mereka sempat akan melakukan hubungan badan sebagai perwujudan rasa cintanya. Namun, mereka membatalkannya demi kesucian.
Namun, kesucian itu akhirnya dinodai oleh sekelompok orang brutal yang mengambil keuntungan saat kerusuhan Mei 1998. Peristiwa yang menjadi pukulan berat buat kedua kekasih itu, juga banyak pihak. Sebuah perjuangan cinta yang dipotong oleh nafsu biadab manusia.
Bagaimana mereka memperjuangkan cinta, peristiwa pemerkosaan, juga apa yang terjadi setelah pemerkosaan itu, ikuti ceritanya dengan seksama, sebuah cerita fiksi tragedi yang mencoba memotret salah satu sisi kerusuhan Mei 1998. (Red)
SATU
HARI yang cerah di bulan Januari 1998. Padahal biasanya hujan sudah datang di pagi hari. Meski cerah, Baskara justru malas beranjak dari tempat tidurnya. Sebagai fotografer di sebuah media massa nasional di Jakarta, dia berangkat ke kantor tak tentu jamnya. Kadang pagi, kadang agak siang. Hari ini dia ingin agak puas tidurnya dan berangkat kerja siang hari. Maklum, semalam dia harus kerja sampai larut. Dua kali panggilan keras adiknya, Zaliany yang biasa membangunkan tidurnya, tak digubris.
“Mas Bas, bangun! Kerja, nggak?” teriak Zaliany untuk ketiga kalinya sambil membetulkan kancing bajunya. Dia tampak sudah rapi dan siap berangkat ke kampus.
“Dasar bujang pemalas. Eh, sebentar lagi aku disamperin teman kuliahku yang pernah aku ceritakan. Rugi kalau nggak kenalan dengannya. Siapa tahu jodoh, biar nggak always jomblo,” lanjut Zaliany yang kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Jurusan Manajemen semester empat.
Serangkaian kalimat terakhir Zaliany itu membuat Baskara tergoda juga dan tak kuasa melanjutkan rasa malasnya. Dia langsung menyingkap selimut dan bersejingkat, keluar dari kamarnya. Dia berlari mengejar adiknya yang sedang menuju meja makan untuk bergabung dengan ayah dan ibunya, kemudian membalikkan tubuhnya agak kasar. Acara makan keluarga hampir selalu tanpa Baskara, karena sering bangun setelah jam sarapan usai. Atau kadang sebelumnya sudah menghilang karena panggilan tugas. Di siang hari dan malam, dia sering makan di jalan atau kantor.
“Eh, yang benar? Masih sendiri, nggak? Nanti kenalin, ya. Tapi jangan terlalu norak, pakai skenario yang cerdas sedikit,” kata Baskara tampak bersemangat.
Zaliany yang merasa dikasari langsung cemberut dan pasang muka galaknya. “Nggak akan aku kenalin dengan orang yang kasar seperti kamu. Terlalu sayang karena orangnya sangat lembut,” jawabnya tegas.
“Oke, oke! Maaf, deh. Abangmu mandi dulu, biar ganteng kayak Arjuna. Atau seperti idolamu, David Beckham,” ujar Baskara, tampak bersemangat.
Zaliany melotot dan siap mendamprat. Ayah dan ibu mereka hanya tersenyum melihat adegan itu. Tapi sebelum Zaliany mengeluarkan kata-kata lebih pedas, Baskara langsung berlari ke kamar mandi. Zaliany pun hanya bisa terpaku sambil cemberut dan menelan kegeramannya. Baskara langsung nongkrong di atas kloset. Ritus setiap kali dia mandi pagi. Pikirannya langsung melayang-layang membayangkan teman adiknya tersebut.
Di depan adik dan orangtuanya, Baskara sering slengekan. Tapi sejatinya dia pribadi yang mandiri, dewasa, berwibawa, cerdas, pemberani, dan tenang. Dia juga sangat pandai bergaul. Ditambah wajahnya yang ganteng dan postur tubuh yang atletis mirip Lorenzo Lamas, banyak wanita yang menyukainya. Tapi di sini persoalannya. Dia kadang terlalu pilih-pilih, hingga belum pernah pacaran sejak putus dengan kekasihnya beberapa saat setelah wisuda, tiga tahun lalu. Padahal umurnya kini sudah 27 tahun. Sudah saatnya dia punya calon pendamping. Bahkan menikah pun sudah sangat pantas.
Ayahnya yang seorang dosen, Prof. Dr. Sungkono, sudah berkali-kali menanyakan kapan akan mengakhiri masa lajangnya. “Ibumu sudah ingin menimang cucu. Apa kamu tak ingin segera menikah? Pekerjaan sudah punya dan gajimu juga terhitung cukup. Menunggu apa lagi?”
Entah sudah berapa kali kata-kata klise itu diucapkan kepadanya, hingga membuatnya sering tertekan dan terbebani. Kadang menjadi risih di telinganya. Dalam hatinya dia juga ingin segera menikah, tapi masih belum ketemu yang cocok. Apalagi dia masih terluka oleh mantan pacarnya, selain menginginkan wanita yang tak hanya cantik, tapi juga punya sikap dan kepedulian terhadap kehidupan, serta budi dan kasih terhadap sesamanya. Sebab, menurutnya, jika manusia hanya memikirkan dirinya dan hanya mengejar kebutuhan badaniah serta kemegahan materi, dia tak lebih dari mahluk yang tak berjiwa. Dan, dia tak ingin memiliki pasangan yang tak berjiwa. Identitas, kehormatan, dan harga diri seseorang, pikirnya, terletak pada sejauh mana dia punya makna terhadap orang lain, lingkungan dan kehidupan. Itu pula sebabnya dia pilih putus dengan kekasih terakhirnya, karena terlalu menuntut ukuran-ukuran materi hingga dia ragu akan ketulusan cintanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar